Jumat, 11 Desember 2009

Gerak Mundur

Sungguh tak bermaksud menghina bangsa sendiri.

Tapi, apalah jadinya suatu bangsa yang kehilangan daya refleksivitasnya? Sudah pasti, bangsa itu akan kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbaharui dirinya sendiri.



Oleh Yudi Latif



Tanpa kapasitas pembelajaran, suatu bangsa bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya.

Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa yang maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase "kanak-kanak' (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi.

Dalam strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Kian hari, penduduk kota-kota metropolitan di Indonesia kian terperangkap dalam jejaring kellihan. Bersama eskalasi pertumbuhan supermal yang dibangun di sembarang tempat, rongga-rongga "agora" (ruang publik) sebagai arena belajar kolektif, pertukaran pikiran, dan kreativitas budaya kian menyempit.



Ruang publik, yang diidamkan oleh Habermas, sebagai arena perbincangan rasional, bebas dan sederajat tanpa terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa uang, kian terpinggirkan oleh penetrasi kapital. Tanpa ruang publik yang sehat, kota-kota besar di Indonesia tak bisa tumbuh sebagai polis-polis berperadaban tinggi seperti Venice atau Paris. Tetapi, ia berhenti sebagai 'hutan' beton yang menjadi situs yang nyaman bagi perkembangbiakan apa yang disebut Al-Farabi sebagai "kota Jahiliyah" (almudun al-jahiliyyah).

Cucu abad pencerahan

Ini gerak mundur dalam perkembangan peradaban kita. Kota-kota besar (modern) seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, semula tumbuh sebagai cucu kandung dari spirit pencerahan di Eropa. Bersama konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda pada abad ke-19, ruang publik dan institusi sosial gaya "pencerahan' mulai disemai di Nusantara. Sekolah dasar ala Eropa, mulai didirikan di Weltevreden (Menteng), Jakarta pada 1817. Pada tahun yang sama Kebun Raya di Buitenzorg (Bogor) dan institut-institut yang terkait dengannya didirikan. Seiring dengan itu, klub-klub social (societeit) tumbuh di beberapa kota: Harmonie dan Concordia di Jakarta, De Vereeniging di Yogyakarta, serta beberapa yang lainnya di Surabaya dan Bandung. Kelahiran dari institusi-institusi ini bersamaan dengan munculnya media cetak, jurnal-jurnal ilmiah Belanda (baik yang diterbitkan di Hindia maupun yang diimpor dari Eropa), dan juga perpustakaan serta rumah penerbitan dari klub-klub sosial tersebut.



Bentuk-bentuk sosiabilitas baru ini, beserta infrastruktur pengetahuan dan ruang publik yang menyertainya, memungkinkan kota-kota merkantil di Nusantara terekspos pada lalu lintas informasi, pengetahuan, dan budaya global yang memberi dasar bagi pertumbuhan kota-kota kosmopolitan berperadaban tinggi.

Pencapaian kekayaan
tanpa meritokrasi,
melahirkan budaya korup,
kedangkalan apresiasi
budaya dan
anti-intelektualisme.



Kenanglah mutu pendidikan yang dihasilkan. Untuk tingkat sekolah dasar saja (seperti ELS), murid telah diberi beberapa bahasa asing. Untuk sekolah menengah (semacam HBS), kurikulumnya sangat ketat, tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat kegagalan yang tinggi bahkan untuk orang-orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu setinggi itu, putra Indonesia seperti Agus Salim mampu tampil sebagai lulusan terbaik dari seluruh HBS yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana pembelajaran yang baik, manusia Indonesia pun bisa berprestasi.



Kenanglah kualitas dan kuantitas penelitiannya. Dr Eijkman, pemenang Hadiah Nobel bidang sains pada 1929, melakukan penelitiannya di Indonesia, malah pernah memimpin Laboratorium Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini. Jangan lupa, para pemilik perkebunan berperan aktif dalam mempromosikan pusat-pusat penelitian. Sebagai contoh, Observatorium Bosscha di Bandung (didirikan oleh seorang pemilik perkebunan teh), Institut Penelitian Karet di Bogor (oleh asosiasi perkebunan karet)



Hingga akhir 1930-an, setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian bereputasi tinggi. Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak ilmuwan terbaik Eropa dan Amerika Serikat yang hijrah ke Indonesia, dan menemukan apa yang mereka sebut sebagai the scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal-jumal ilmu pengetahuan yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero dunia, terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan ketika Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.


'Respublica Litterarial'

Kenang pula inisiatif pemerintah untuk mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pustaka dengan proyek penerjemahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun agenda tersembunyi di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia.



Selain itu, BP juga berfungsi sebagai medan permagangan bagi para literati 'Bumiputera' un tuk meniru tradisi kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal 'Respublica litteraria'.

Alhasil, seiring dengan pertumbuhan kaum borjuis di perkotaan, tumbuh pula kantong-kantong kreativitas ilmu dan budaya. "Kelas tinggi" menjadi penyangga dari "budaya tinggi". Tak mengherankan jika kualitas peradaban kita menjadi ukuran kemajuan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.



Bandingkanlah dengan Malaysia. Hingga awal abad ke-20, kota-kota pantai di negeri ini lebih banyak dihuni oleh orang Eropa, China dan pendatang lainnya. Karena infrastruktur pengetahuan terbaik didirikan di kota-kota, bangsa Melayu jauh terbelakang dalam segi pendidikannya. Kelak, kehendak untuk memajukan bangsa Melayu mendorong pemerintahnya, untuk mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia yang lebih maju dan lebih diterima karena kedekatan kulturalnya.



Tetapi, perkembangan kota-kota besar di Indonesia saat ini sungguh melenceng dari bangun arsitektur awalnya. Ledakan orang-orang kaya baru (kelas tinggi) di perkotaan tak diikuti oleh pertumbuhan "budaya tinggi". Pencapaian kekayaan tanpa meritokrasi melahirkan budaya korup, kedangkalan apresiasi budaya dan anti-intelektualisme.



Rapuhnya infrasruktur kognitif masyarakat membawa konsekuensi melemahnya kapasitas diskursus kritis pada tingkat political society, bahkan di lingkungan civil society. Jika gerak mundur ini terus dibiarkan, trayek sejarah Indonesia akan terus bergerak secara tak waras: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar