Jumat, 11 Desember 2009

KIAMAT 21 DESEMBER 2012 HARI JUM'AT

Bingung yah sama judulnya?
Sebenarnya aq agak ragu posting artikel yang satu ini,takut ntar dikira percaya sama ramalan lagi.Tapi kalau dipikir-pikir,memang sebaiknya aq posting aja deh,soal percaya ngga' percaya itu kembali pada diri kita masing-masing.(tapi jangan berfikir kalau aq percaya banget sama yang namanya ramalan ya)



(read carefully,ya...:)
Begini.....teman-teman pernah dengarkan mengenai mitologi-mitologi setiap bangsa didunia,misalnya mitologi perdaban China,Mesir,Sumeria,Yunani,dsb.

Nah,dikisahkan didalam beberapa mitologi-mitologi tsb bahwa bumi ini pernah dilanda banjir dahsyat yang mengerikan,hampir semua peradaban-peradaban zaman dulu ada cerita tentang bencana yang satu ini,misalnya diantara lebih dari 130 suku Indian di Benua Amerika hampir tidak ada suku yang tidak memitoskan banjir dasyat sebagai topik.

Kalau mau lebih mudahnya,coba ingat-ingat Kisah Nabi Nuh (Noah).Dikisahkan didalam Al-Qur'an maupun Bible,bahwa seluruh peradaban manusia pada saat itu musnah,terkecuali bagi orang-orang yang percaya pada ajaran Alllah yang disampaikan oleh Nabi Nuh yang selamat dari bencana air bah yang maha dasyat itu.



Di sekitar pedalaman kaki Gunung Himalaya, Tibet misalnya, orang-orang menjumpai sebuah suku, keturunan dan rupa mereka hampir mirip dengan orang Yunani. Konon katanya, mereka adalah orang-orang yang beruntung masih hidup atas peristiwa banjir yang dahsyat itu.





Pada tahun 1986, kantor berita pemerintah Turki menyatakan bahwa 5.200 meter di atas permukaan laut puncak gunung (Ararat), telah ditemukan sebuah benda yang mirip dengan perahu Nabi Nuh yang berbentuk persegi empat, lalu mengambil gambarnya dari angkasa, dan panjang perahunya sesuai dengan yang dicatat dalam kitab suci.

Pernah beberapa waktu lalu aq sempat membaca sebuah artikel manarik,menurut penuturan dari Mister Li Hongzi (pendiri Fulun Gong/Fulun Dafa) dalam ceramah Alam Semesta-nya,Beliau menuturkan bahwa peradaban dimuka bumi ini setidaknya telah dihancurkan kurang lebih sebanyak empat kali oleh Sang Pencipta. Dan,pada saat era dimana kita hidup sekarang ini, merupakan masa kehidupan peradaban umat manusia ke-5 dibumi.

Lalu kenapa manusia bisa mengalami bencana itu? Mitologi dari setiap negara mempunyai penjelasan yang sama terhadap hal ini. Semua ini dikarenakan kemerosotan dan kebejatan manusia, lalu Sang Penguasa Alam Semesta memutuskan untuk menghukum manusia.

Mengenai penggambaran atas peristiwa dimusnahkannya beberapa peradaban-peradaban manusia masa silam ,sebenarnya bisa kita peroleh penjelasannya dari beberapa Hadist. Pernah aq membaca sebuah hadist riwayat (lupa tapi hadist riwayat siapa),disitu dikisahkan pada zaman nabi-nabi terdahulu,ada yang disebut sebagai zaman edan dan zaman apa gitu deh (intinya setiap manusia pada zaman ini kembali fitrah), sehabis zaman edan akan kembali lagi ke zaman fitrah sampai saatnya tiba alam semesta ini benar-benar akan dihancurkan secara keseluruhan.

Nah, dari isi hadist tsb dapat kita peroleh penjelasan,bahwa ketika suatu zaman dimana manusia telah menunjukkan kemerosotan moral yang luar biasa (zaman edan),Sang Penicipta memutuskan untuk mengahiri peradaban tersebut dengan mengirimkan beberapa bencana besar yang ahirnya mengakhiri kehidupan dimuka bumi pada saat itu. Hanya beberapa oranglah yang disisakan untuk memulai peradaban baru selanjutnya.Pada waktu peradaban baru ini lahir,hati orang-orang yang berhasil terselamatkan tersebut kembali dalam keadaan bersih/fitrah (setelah bertobat) karena telah disadarkan oleh rentetan bencana mengerikan yang menimpanya dimasa silam.(mohon dikoreksi lagi yah hadistnya)

Siklus seperti itu terus menurus berlangsung sampai pada masa peradaban kita saat ini (masa peradaban umat manusia ke-5/matahari ke-5). Pada saat ini,dimana tanda-tanda zaman edan telah dapat terlihat dengan begitu jelas,mungkin kembali saatnya peradaban pada saat ini harus kembali diakhiri,dan akan digantikan dengan sebuah peradaban baru yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sebelumnya.(mungkin manusia-manusia yang akan datang akan mengenal sisa-sisa peradaban kita sebagai sebuah peradaban maju yang hilang ditelan masa,seperti halnya kisah mengenai peradaban Atlantis dan Lemuria yang tenggelam dimasa silam)

Kini muncul pertanyaan,apa hubungannya peradaban ke-5 dimuka bumi ini dengan tahun 2012?



Pada sistem penanggalan didalam Kalender Bangsa Maya/Maya Calendar yg merupakan kalender paling akurat sampe sekarang yg pernah ada di bumi.(Perhitungan Maya Calendar dari 3113 SM sampai 2012 M) ,mereka (Bangsa Maya) menyatakan pada tahun 2012,tepatnya tanggal 21 Desember 2012,merupakan "End of Times". maksud dari "End of Times" itu sendiri masih diperdebatkan oleh para ilmuwan, dan arkeolog.

Ada yang menyatakan bahwa maksudnya adalah :


1. Berhentinya waktu (bumi berhenti berputar)
2. Peralihan dari Zaman Pisces ke Aquarius
3. Peralihan dari Abad Silver ke Abad keemasan
4. End of Times = End of the World as we know it
5. Akan ada sebuah galactic Wave yang besar, yang memberhentikan semua kegiatan di muka bumi ini, termasuk kemusnahan manusia
6. Perubahan dari dimensi 3 ke dimensi 4, bahkan 5
7. Kehidupan manusia meningkat dari level dimensi 3, ke 4, DNA manusia meningkat dari strain 2 ke 12, sehingga manusia dapat menggunakan telepati bahkan telekinesis
8. Ada yang menyatakan tidak akan terjadi apa-apa
9. Ada yang menyatakan waktu sudah tidak akan berlaku, jadi waktu tidak linear, tetapi bisa berubah2, sesuai dengan waktu yang kita alami, karena ditemukannya mesin waktu
10. Ditemukannya mesin waktu dan stargate
11. Manusia sudah dapat melakukan transportasi ke galaxi lain, melalui stargate
12. Bangkitnya messiah, yang akan menyelamatkan manusia dari kehancuran
13. Kebangkitan Isa AS / Jesus
14. First Contact pertama kali peradaban manusia dengan Alien/UFO
15. Manusia bergabung dengan komunitas antar galaxi pertama kali, manusia = galaxy being.


Dalam kalender bangsa Maya yang sangat tersohor itu, diramalkan bahwa pada periode 1992-2012 bumi akan dimurnikan, selanjutnya peradaban manusia sekarang ini akan berakhir dan mulai memasuki peradaban baru.

Dalam sejarah peradaban kuno dunia, bangsa Maya dikenal menguasai pengetahuan tentang ilmu falak yang khusus dan mendalam, sistem penanggalan yang sempurna, penghitungan perbintangan yang rumit serta metode pemikiran abstrak yang tinggi. Kesempurnaan dan akurasi dari pada penanggalannya membuat orang takjub.

Sekelompok masyarakat yang misterius ini tinggal di wilayah selatan Mexico sekarang (Yucatan) Guetemala, bagian utara Belize dan bagian barat Honduras. Banyak sekali pyramid, kuil dan bangunan-bangunan kuno yang dibangun oleh Maya yang masih dapat ditemui di sana. Banyak juga batu-batu pahatan dan tulisan-tulisan misterius pada meja-meja yang ditinggalkan mereka.

Para arkeolog percaya bahwa Maya mempunyai peradaban yang luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari peninggalannya seperti buku-bukunya, meja-meja batu dan cerita-cerita yang bersifat mistik. Tetapi sayang sekali buku-buku mereka di perpustakaan Mayan semuanya sudah dibakar oleh tentara Spanyol ketika menyerang sesudah tahun 1517. Hanya beberapa tulisan pada meja-meja dan beberapa system kalender yang membingungkan tersisa sampai sekarang.

Seorang sejarahwan Amerika, Dr. Jose Arguelles mengabdikan dirinya untuk meneliti peradaban bangsa ini. Ia mendalami ramalan Maya yang dibangun di atas fondasi kalender yang dibuat bangsa itu, dimana prediksi semacam ini persis seperti cara penghitungan Tiongkok, ala Zhou Yi. Kalendernya, secara garis besar menggambarkan siklus hukum benda langit dan hubungannya dengan perubahan manusia.

Dalam karya Arguelles, The Mayan Factor: Path Beyong Technology yang diterbitkan oleh Bear & Company pada 1973, disebutkan dalam penanggalan Maya tercatat bahwa sistim galaksi tata surya kita sedang mengalami 'The Great Cycle' (siklus besar) yang berjangka lima ribu dua ratus tahun lebih.

Waktunya dari 3113 SM sampai 2012 M. Dalam siklus besar ini, tata surya dan bumi sedang bergerak melintasi sebuah sinar galaksi (Galatic Beam) yang berasal dari inti galaksi. Diameter sinar secara horizontal ini ialah 5125 tahun bumi. Dengan kata lain, kalau bumi melintasi sinar ini akan memakan waktu 5125 tahun lamanya.

Orang Maya percaya bahwa semua benda angkasa pada galaksi setelah selesai mengalami reaksi dari sinar galaksi dalam siklus besar ini, akan terjadi perubahan secara total, orang Maya menyebutnya, penyelarasan galaksi (Galatic Synchronization). Siklus besar ini dibagi menjadi 13 tahap, setiap tahap evolusi pun mempunyai catatan yang sangat mendetail. Arguelles dalam bukunya itu menggunakan banyak sekali diagram-diagram untuk menceritakan kondisi evolusi pada setiap tahap. Kemudian setiap tahap itu dibagi lagi menjadi 20 masa evolusi. Setiap masa itu akan memakan waktu 20 tahun lamanya.

Dari masa 20 tahun antara tahun 1992-2012 itu, bumi kita telah memasuki tahap terakhir dari fase Siklus Besar, bangsa Maya menganggap ini adalah periode penting sebelum masa pra-Galatic Synchronization, mereka menamakannya: The Earth Generetion Priod (Periode Regenerasi Bumi). Selama periode ini bumi akan mencapai pemurnian total. Setelah itu, bumi kita akan meninggalkan jangkauan sinar galaksi dan memasuki tahap baru: penyelarasan galaksi.

Pada 21 Desember 2012 akan menjadi hari berakhirnya peradaban umat manusia kali ini, dalam perhitungan kalender Maya. Sesudah itu, umat manusia akan memasuki peradaban baru total yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan peradaban sekarang. Pada hari itu, tepatnya musim dingin tiba, matahari akan bergabung lagi dengan titik silang yang terbentuk akibat ekliptika (jalan matahari) dengan ekuator secara total. Saat itulah, matahari tepat berada di tengah-tengah sela sistem galaksi, atau dengan kata lain galaksi terletak di atas bumi, bagaikan membuka sebuah "Pintu Langit" saja bagi umat manusia.

Mulai 1992, bumi memasuki apa yang oleh bangsa Maya disebut 'Periode Regenerasi Bumi". Pada periode ini, Bumi dimurnikan, termasuk juga hati manusia, (ini hampir mirip ramalan orang Indian Amerika-Utara terhadap orang sekarang ini), subtansi yang tidak baik akan disingkirkan, dan substansi yang baik dan benar akan dipertahankan, akhirnya selaras dengan galaksi (alam semesta), ini adalah singkapan misteri dari gerakan sistem galaksi kita yang diperlihatkan oleh bangsa Maya.

Sejak tahun 1992 sampai 2012 nanti, bagaimana terjadi "pemurnian" dan bagaimana pula terjadi "regenerasi" pada bumi kita ini, tidak disebutkan secara detail oleh bangsa Maya. Dalam ramalan mereka pun tidak menyinggung tentang apa hal konkret yang memberikan semangat manusia untuk bangkit dari kesadaran dan bagaimana bumi mengalami permurnian, yang ditinggalkan oleh mereka kepada anak cucunya (barangkali tidak tercatat). Lantas, fenomena baru apa yang sudah bisa kita lihat sejak tahun 1992 sampai sekarang yang bisa kita kaitkan dengan ramalan bangsa Maya yang beradab itu?

Mungkin sudah diatur, bahwa kalender Maya tidak hilang dan sejarah manusia, dan harus diuraikan dengan kode oleh manusia sekarang. Namun ia tetap saja harus dilihat, apakah umat manusia yang terpesona oleh konsepsinya yang trerbentuk sesudah kelahiran dapat menembus batas-batas untuk mengingatkan dan memahami kebenaran yang melampoi sistim pengetahuan kita.

Sebenarnya,jika ditinjau dari beberapa penelitian yang telah dilakukan saat ini.Memang pada beberapa dua dasawarsa belakangan ini,bumi sedang mengalami suatu siklus yang dinamakan pembalikan daya magnet kutub.
Pembalikan daya magnet kutub adalah proses yang terjadi pada waktu kutub utara dan kutub selatan saling bertukar posisi. Ketika ini terjadi, untuk beberapa saat medan magnet bumi mencapai Gauss nol, yang berarti bumi pada waktu itu punya daya magnet nol. Ketika ini terjadi bersamaan dengan perbalikan orbit sebelas tahunan kutub matahari, masalah besar akan terjadi.

Menurut perhitungan computer Hyderabad, pembalikan kutub Bumi dan Matahari dapat mengakibatkan masalah besar selain elektronik tidak bekerja dengan semestinya, burung yang bermigrasi kehilangan haluan, dan bermacam macam:


1. Sistem ketahanan tubuh semua hewan dan termasuk manusia akan banyak melemah.
2. Lapisan luar bumi akan mengalami pertambahan gunung berapi, pergerakan tektonik, gempa bumi, dan tanah longsor.
3. Medan magnet Bumi akan melemah dan radiasi alam semesta berasal dari matahari bertambah berlipat ganda mengakibatkan bahaya radiasi seperti kanker dan sebagainya tidak dapat dihindari
4. Benda-benda angkasa akan tertarik masuk ke Bumi
5. Daya gravitasi Bumi akan mengalami perubahan meskipun tidak diketahui bagaimana ia akan berubah


Jika anda menambahkan semua skenario bencana yang mungkin terjadi, anda dapat dengan mudah mengatakan dengan kalimat sederhana ini, Bumi dapat menjadi tempat yang tidak cocok untuk ditinggali peradaban manusia pada 2012 ataupun mereka yang hidup dekat lapisan luar bumi. Hal ini mungkin saja dapat terjadi pada Mars jutaan tahun yang lalu.

Mungkin benar adanya apa yang dikatakan Bangsa Maya mengenai kehancuran perdaban manusia di tahun 2012 esok,hal tersebut tentunya dapat kita lihat dari sifat-sifat manusia zaman sekarang yang tau sendirikan bagaimana moralnya,kelakuan,dll, dan alam-pun kelihatannya semakin tidak bersahabat dengan kita.

Yang lebih menarik lagi kali ini aq coba mengutip pernyataan si Mama Louren (tau kan,peramal yang suka muncul di Tipi itu lo).Kata dia,"pada tahun 2012 nanti jumlah penduduk di Indonesia ini tinggal 40%".Lalu ketika ditanya apa penyebabnya,dia menuturkan ,"pada tahun itu sebuah bencana besar akan melanda Bumi secara Global,mungkin pada setiap negara nantinya hanya menyisakan 30%-40% kehidupan untuk kembali membangun kehidupan baru".

Ramalan serupa juga diutarakan oleh Beberapa Biksu di Tibet yang terkenal pengan penguasaan clairvoyance-nya yang sangat baik.Mereka mengatakan pada awal tahun 2012 merupakan tahun paling mendebarkan bagi umat manusia di muka Bumi,dimana pada permulaan tahun,beberapa fenomena aneh akan banyak bermunculan.Namun dalam penutupnya,Para Biksu mengatakan Bumi akan terselamatkan oleh sebuah kekuatan besar yang melindungi mereka secara kasat mata,sehingga memungkinkan peradaban manusia tidaklah sepenuhnya musnah.

Kalau menurutku pribadi,tidak ada seorangpun yang bisa meramalkan kapan tepatnya kiamat itu datang.Tapi dilain sisi,aq percaya akan regenarasi suatu peradaban yang diramalkan para Orang Bangsa Maya ditahun 2012 nanti.Ini bukanlah suatu kehancuran Alam semesta secara keseluruhan (Jadi belum bisa diartikan kiamat yang sebenarnya),mungkin nantinya secuil para manusia-manusia yang terselamatkan dari bencana akan kembali membangun tonggak peradaban baru yang lebih baik dan lebih bermoral daripada kita.Wallahualam bi shawab.Tapi intinya,mau kiamat itu datangnya kapan,pokoknya mulai sekarang kita harus wajib bertobat dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.


Pada artikel diatas,aq menuliskan mengenai penyelarasan Galaksi (Galatic Synchronization) yang diramalkan bangsa Maya akan benar-benar memasuki tahap puncaknya di tahun 2012 nanti. Telah aq uraikan juga pada artikel sebelumnya, bahwa siklus penyelarasan Galaksi ini memang terjadi setiap 5125 tahun sekali,titik permulaannya adalah pada tahun 3113 SM dan mencapai titik puncaknya di tahun 2012 M (3113 + 2012 = 5125). Selama siklus besar ini berjalan, setidaknya ada 13 tahap paling utama yang dilalui oleh kehidupan Manusia diantara jenjang waktu 5125 tahun itu.

Berikut ini aq coba uraikan ke-13 tahap itu :



Perhatikan tabel 13 siklus perputaran Baktum diatas,
Tahap paling awal dari siklus tersebut dimulai dari yang paling kiri yaitu Baktun of The Star Planting,kemudian dilanjutkan oleh tahap berikutnya sampai ahirnya memasuki tahap ahir yang disebut Baktun Transformation of Matter (paling kanan).

Pada setiap Baktun terdiri dari 144,000 hari.Namun sampai saat ini belum ada kepastian mengenai kapan tepatnya tanggal perputaran Baktun ini dimulai.Para Sarjana banyak yang berbeda pendapat mengenai hal ini,ada yang mengatakan mulai bergulir pada tanggal 13 Agustus 3113 SM,ada juga yang mengatakan 11 Agustus 3113 SM.

Nantinya,disetiap Baktun akan diuraikan beberapa kejadian besar yang pernah dan yang akan dilalui oleh peradaban manusia ke-5 dibumi ini,yaitu dimulai dari Baktun pertama (3113 SM) sampai Baktun paling puncak/terakhir (2012 M).

Berikut ini aq coba tampilkan rentetan Kejadian-kejadian besar tersebut secara berurutan : (sengaja engga' aq jabarkan secara spesifik,soalnya panjang buanget & cape' ngetiknya T_T)
(Sambil dicocokin dengan tabel diatas yah.....:)

1.Baktun 0 = "Baktun of the Star Planting" (Periode 3113-2718 SM) 13.0.0.0.0
*Masuknya Bumi pada "Galactic Synchronization Beam" tahap awal
*Masuknya Bumi pada siklus "Star transmission" baru di alam semesta
*Peradaban manusia baru (ke-5) dimulai
*Bangsa Mesir Kuno muncul 3100 SM
*Expansi Sumeria 3000 SM
*Kontruksi awal Pembangunan Stonehenge dimulai 2800 SM

2.Baktun 1 = "Baktun of the Pyramids" (Periode 2718-2324 SM) 1.0.0.0.0
*Konstruksi awal pembangunan Great Pyramid Giza 2700-2600 SM
*Penyebaran Peradaban Sumeria di Timur Tengah
*Pengembangan perkakas Perunggu
*Peradaban Harapa India dimulai
*Masa becocok tanam berkembang pesat di China,Mesoamerica,dan Andes

3.Baktun 2 = "Baktun of the Wheel" (Periode 2324-1930 SM) 2.0.0.0.0
*Roda ditemukan
*Alat transportasi beroda muncul
*Code hukum ditulis
*Mulainya Imperium Babilonia pertama
*Era of Legendary Emperors China
*Peradaban Minoa,Crete dimulai

4.Baktun 3 = "Baktun of the Sacred Mountain" (Periode 1930-1536 SM) 3.0.0.0.0
*New Kingdom di Mesir
*Kerajaan Mesir mengabadikan mengenai kekuasaan keturunan Raja,memperkuat pola defensif territorial sebagai norma untuk kehidupan yang beradab
*Hancurnya peradaban Minoan (peradaban indus) oleh Bangsa Arya

5.Baktun 4 = "Baktun of the Shang" (Periode 1536-1141 SM) 4.0.0.0.0
*Dinasti Shang China berdiri,doktrin pengucapan Yin Yang,Kemajuan pengetahuan akan pengolahan perunggu
*Peradaban Vidic India dimulai
*Kemunculan Peradaban Chavin,Olmec,Mesoamerica
*Masa kenabian Ibrahim sampai Musa
*Munculnya peradaban Mesopotamia

6.Baktun 5 = "Baktun of the Imperial Seal" (Periode 1141-747 SM) 5.0.0.0.0
*Imperium Babilonia-Assyirian dimulai
*Perkenalan persenjataan Besi
*Kenaikan mycenean Yunani di Mediterania
*Awal Dinasti Chou di China
*Kuda digunakan pertamakali untuk berperang,dan munculnya pola gemar berperang pada setiap kerajaan

7.Baktun 6 = "Baktun of the Mind Teachings" (Periode 747-353 SM) 6.0.0.0.0
*Gelombang periode pertama Peradaban Maya di Mesoamerika
*Imperium Persia dimulai
*Zaman-zaman bagi para filusuf Yunani (Plato,Socrates dan Aristoteles)
*Six Schools of Vedic thought
*Mahavira dan Budha,kehidupan Confucius,Lao Tze,Chang Tzu di China
*Sistem Kalender Bangsa Maya diciptakan

8.Baktun 7 = "Baktun of the Annoited One" (Periode 353 SM - 41 M) 7.0.0.0.0
*Alexander The Great,Rise of Rome
*Teknologi Besi diperkenalkan
*Permulaan Dinasti Han
*Konstruksi The Great Wall China
*Penyebaran Budha sebagai Agama Cosmopolitan di India sampai Central Asia
*Masa Kenabian Isa Almasih/Yesus Kristus
*Difusi Olmec dan permulaan dari Teotihuacan

9.Baktun 8 = "Baktun of The Lords of Red and Black" (Periode 41-435 M) 8.0.0.0.0
*Konstruksi ahir Piramida Teotihuacan
*Konsolidasi rezim kebudayaan Mesoamerika
*Ajaran Lord and Black pertama muncul di Quetzalcoatl
*Peradaban Nazca dan Easter Island
*Ekspansi dan masa kemunduran Kerajaan Romawi
*Munculnya Kristen sebagai suatu keyakinan/agama
*Dinasti Han runtuh
*Budha tersebar ke wilayah Asia Tenggara

10.Baktun 9 = "Baktun of The Maya" (Periode 435-830 M) 9.0.0.0.0
*Gelombang kedua Galactic Maya Civilization
*Masa Kenabian Muhammad SAW dan munculnya Islam sebagai suatu keyakinan/agama
*Kristen menyebar ke Eropa,Kristen Romawi di Eropa Barat dan Ortodoks di Eropa Timur
*Hindu menjadi agama dominan di India
*Ajaran Budha tersebar ke wilayah Korea dan Jepang
*Masa Dinasti T'ang
*Kejayaan Kerajaan2 di wilayah Asia Tenggara,Indonesia
*Kedudukan penting Tiahuanaco,Andes
*Munculnya peradaban Polinesia,Oceania dan Nigeria

11.Baktun 10 = "Baktun of the Holy Wars" (830-1224 M) 10.0.0.0.0
*Kehancuran Peradaban Maya dan Central Mexico
*Masa keemasan peradaban Toltecs
*Munculnya peradaban Chimu di Andes
*Perang salib
*Berjayanya peradaban Tibet
*Munculnya Peradaban Khemer di Asia Tenggara

12.Baktun 11 = "Baktun of Hidden Seed" (1224-1618 M) 11.0.0.0.0
*Penyebaran Islam Ke India , Asia Tenggara , dan Afrika Barat
*Kejayaan Orang-orang Turki
*Puncak perkembangan Kristen di Eropa Barat
*Puncak perkembangan Kristen Ortodoks di Eropa Timur
*Peradaban Eropa berhasil menaklukkan Bangsa Inca dan Aztec

13.Baktun 12 = "Baktun of The Transformation of Matter" (Periode 1618-2012 M) 12.0.0.0.0
*Zaman Imperialisme dan Kapitalisme
*Revolusi Industri
*Revolusi Amerika
*Kolonialisme di Afrika,Amerika Latin dan Asia
*Revolusi Prancis
*Industrialisasi di Jepang
*Paham Marxisme oleh Karl Marx
*Revolusi Komunis Rusia dan China
*Perang Dunia 1 dan 2 meletus,era bom atom
*Era Nuklir dimulai
*Teror mulai merajalela secara global
*Kejayaan Islam dan Munculnya kekuatan baru di India dan Timur Tengah
*Mulai tidak stabilnya peradaban di Bumi
*Bumi memasuki era ahir global regeneration
*Bumi memasuki Zona Photon tahap ahir
*Ahir Galactic Synchronization (December 2012)

Jika kita lihat dari siklus Baktum diatas,maka benar tahun 2012 merupakan titik ahir dari Galactic Synchronization dan Zona Photon.Coba perhatikan pada uraian Baktun 12 diatas,yang aq garis bawahi dari Era Nuklir dan Ahir Galctic Sychronization merupakan tahun dimana saat ini kita masih bernafas,sampai jangka waktu tahun2 kedepannya (2008-2012).

Mungkin pengetahuan yang akan aq jabarkan dibawah ini masih sangat asing kita dengar,namun tidak ada salahnya kan aq uraikan untuk memperluas wawasan kita :)

Zona Photon adalah daerah yang terdiri dari partikel cahaya photon. Cahaya photon adalah akibat dari tabrakan anti elektron dengan elektron. Tabrakan itu menyebabkan kedua partikel itu saling menghancurkan yang kemudian menimbulkan energi photon atau partikel cahaya. Kelak kemudian hari photon akan menjadi sumber energi utama untuk memenuhi kebutuhan energi, selain energi nuklir tentunya.

Sebenarnya ada suatu rahasia alam semesta yang selama ini mungkin belum diketahui oleh banyak orang.
Seperti yang kita ketahui,bahwa setiap sistem galaksi dan tata surya tentu mempunyai suatu pusat,misalnya Galaksi Bima Sakti kita (The Milky Ways) yang berpusat pada Matahari.
Tapi tahukah, bahwa selain berotasi mengelilingi matahari,konon Bumi juga mengintari suatu matahari pusat alam semesta (Central Sun) yang berada pada gugus bintang Pleiades.
Semua bintang dan planet di alam semesta,tak terkecuali Matahari juga berputar mengitari Central Sun.Para Astronom menamai Central Sun ini ALCIONE.



Perhatikan pada gambar diatas,titik pusat lingkaran digambarkan sebagai Central Sun Alam Semesta (ALCIONE),semua gugus Bintang ( baik itu Taurus,Libra,dsb) yang disetiap gugusnya terdiri dari ber-triliyun2-an Bintang2 dan Planet2, wajib berotasi mengelilinginya.


Galaksi Kita (The Milky Ways) berikut planet-planetnya termasuk bumi memerlukan waktu 25.860 tahun untuk mengitari ALCIONE itu, maka tiap 12.500 tahun tata surya kita bertabrakan dengan Zona Photon. Untuk melintasi Zona Photon diperlukan 1000-2000 tahun.

Sejak 1961 tata surya kita sudah mulai memasuki Zona Photon. Dan akan berada di pusatnya pada tahun 2011-2012. Masuknya tata surya kita ke dalam zona photon akan memberikan dampak peningkatan frekwensi getaran bumi dan peningkatan kesadaran manusia, yang selanjutnya memicu perubahan besar dalam kehidupan di planet bumi.

Lalu apakah yang terjadi pada Bumi disaat masa-masa transisi tersebut?

Di tepi Zona Photon terdapat suatu dinding pembatas yang disebut Zona Nil. Di Zona Nil tersebut terjadi kompresi energi yang sangat dahsyat, di mana medan magnetik sangat padat sehingga segala sesuatu yang melintasi Zona tersebut pasti mengalami perubahan.
Berarti juga medan magnetik bumi dan matahari akan berubah mengalami jenis magnetik yang baru., yakni magnetik interdimensional yang mengakibatkan perubahan drastis pada medan elektrik magnetis dan gravitasional bumi. Dapat dibayangkan pengaruhnya pada semua alat listrik yang kita kenali sekarang, semua tak akan berfungsi, Mobil dan pesawat tak dapat distarter, Pendingin ruangan akan mati total, Lampu-lampu listrik tak lagi menyala.

Selain itu,dampak peningkatan frekwensi getaran alam akibat energi photon akan meningkatkan aktivitas gelombang laut, gunung berapi, gempa bumi, perubahan cuaca/ilklim, pemanasan global dan terciptanya lobang-lobang ozon.

Diperkirakan penghuni bumi menghadapi suatu kehidupan dan kegelapan yang tak bisa dipahami diantara ahir Zona Photon nanti (2011-2012).

Hari 1-2: Matahari tidak bersinar dan bumi menjadi gelap gulita dan dingin yang dahsyat.

Hari 3-4: Tampak cahaya temaram, bagai fajar, bintang-bintang mulai muncul di langit

Hari 5-6. Menghadapi hari yang bercahaya benderang selama 24 jam terus menerus. Seluruh mahluk bangkit dengan semangat baru.Menerima energi baru. Kemampuan Supranatural muncul suatu Era zaman baru

Tanda-tanda taransisi mudah kita lihat dengan berbagai rentetan peristiwa yang ditayangkan media massa maupun media elektronik.
Hidup yang semakin sulit dan banyak tantantangan dan masalah, masa depan yang suram, kehidupan sosial politik dan ekonomi yang hiruk pikuk dan heboh. Banyak orang yang gelisah dan dirundung kecemasan, dan tekanan jiwa, gelisah, kekalutan mental, tindakan kekerasan, kekejaman, atau pemberontakan untuk mencapai kebebasan dan reformasi.(Zaman Edan telah mencapai puncaknya)

Zona Photon dikenal juga dengan sebutan Nebula Emas. Dimana manusia akan menikmati zaman keemasan. Manusia-manusia yang dapat tetap hidup dan lolos dari tahap ahir Galactic Synchronization nanti akan memiliki tingkat kesadaran yang super . Mungkin inilah saatnya yang dinyatakan dalam Al-Qur'an maupun Bible bahwa manusia akan berubah dalam sekejap mata.

Kemampuan-kemampuan spiritual seperti telekenensis, clairvoyance, clairaudience dan kemapuan-kemampuan spiritual yang hanya dimiliki orang-orang tertentu akan menjadi milik setiap orang. Penghubi bumi akan menjadi mahluk superneing, atau manusia super.

Badan jasmani manusia yang berhasil melampaui masa transisi dan tetap hidup, akan mengalami perubahan. Kebutuhan jasmani juga berkurang, tidak seperti manusia jaman sekarang yang terlalu banyak menuntut gaya hidupnya. Kehidupan di Zaman Baru akan memberikan kekuasaan manusia berkesempatan dan berkemampuan untuk meremajakan diri jasmaninya dan hidup tanpa batas waktu.

Bangsa Manusia Baru akan mempunyai pemimpin yang memiliki kesadaran multidimensional, memimpin manusia menuju kehidupan yang damai, sejahtera, dan bahagia sesuai dengan rencana Tuhan Sang Maha Pencipta.

Sejarah planet bumi dan asal-usul manusia akan terungkap. Sejarah yang selama ini dibayangkan atau ditemukan oleh ahli-ahli sejarah sangat berbeda dengan kejadian yang sesungguhnya.Akhirnya manusia akan memahami jati dirinya, tahu siapa dirinya di masa silam dan apa tugas serta takdirnya, tidak semata-mata sebagai manusia bumi, tetapi sebagai manusia galaktik yang memiliki kesadaran kosmik.

sumber :
http://unik77.blogspot.com/2008/09/2012-hari-kiamat-bagian-i.html
http://unik77.blogspot.com/2008/09/2012-hari-kiamat-bagian-2.html
(dari berbagai sumber)
2012-hari-kiamat-bagian-2.html

Pendidikan menurut Dalai Lama

kutipan dari buku Ancient Wisdom Modern World, Elex Media Komputindo, halaman 181




Pikiran manusia (lo) adalah sumber dan apabila diarahkan dengan tepat juga merupakan solusi bagi masalah kita. Mereka yang berpendidikan tinggi namun tidak memiliki hati yang baik dapat menjadi mangsa yang empuk bagi kecemasan dan keresahan karena keinginan yang tak terpenuhi. Sebaliknya, pemahaman murni tentang nilai-nilai spiritual justru memiliki dampak yang berlawanan. Bilamana kita mendidik anak-anak kita meraih ilmu pengetahuan tetapi tanpa rasa iba (belas kasihan), maka sikapnya terhadap sesama mungkin akan menjadi campuran dari rasa iri terhadap orang yang melebihi mereka dan persaingan yang agresif terhadap rekan sebayanya, juga mencemohkan mereka yang kurang beruntung. Ini akan menuntun kepada kecenderungan bersifat tamak, penuh prasangka, berlebihan, dan cepat merasa tidak bahagia. Ilmu pengetahuan memang penting. Ini bergantung pada hati dan pikiran pemakainya.



Pendidikan lebih dari sekadar memisahkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk meraih tujuan yang sempit. la juga membuka mata seorang anak bagi kebutuhan dan hak-hak sesamanya. Kita harus menunjukkan kepada anak-anak bahwa aksi mereka akan memiliki dimensi universal. Dan kita harus menemukan cara untuk membangun rasa simpati mereka yang wajar supaya mereka memiliki rasa tanggung jawab terhadap sesama. Karena inilah yang sebenarnya mencetuskan tindakan kita. Memang, kalau kita harus memilih antara pengetahuan dan kebajikan, maka yang terakhir itu lebih bernilai. Hati yang baik, yang merupakan buah dari kebajikan, adalah manfaat yang besar bagi kemanusiaan. Hanya ilmu pengetahuan semata, tidaklah bermanfaat.



Lalu, bagaimana seharusnya kita mengajarkan moralitas kepada anak-anak kita? Saya merasa bahwa, pada umumnya, sistem pendidikan yang modern biasanya mengabaikan pembahasan tentang masalah-masalah etika. Ini mungkin tidak dimaksudkan hanya
sebagai produk sampingan dari realitas sejarah. Sistem pendidikan duniawi dikembangkan justru ketika institusi-institusi religius masih amat berpengaruh di seluruh lapisan masyarakat. Karena nilai-nilai etis dan manusiawi sebelumnya masih dianggap termasuk dalam ruang lingkup agama maka diperkirakan segi dari pendidikan anak ini otomatis akan terpelihara melalui pendidikan agama, baik bagi anak pria maupun wanita. Semua ini berfungsi dengan baik hingga pengaruh agama mulai surut. Walaupun kebutuhannya masih ada namun tidak terpenuhi, kita harus menemukan sejumlah cara lain dalam menunjukkan kepada anakanak bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar itu penting. Dan kita juga harus membantu mereka untuk mengembangkan nilai-nilai tadi.



Akhirnya, tentu saja, pentingnya kepedulian terhadap sesama dipelajari bukan dari kata-kata melainkan dari aksi/tindakan: panutan yang kita peragakan. jadi, lingkungan keluarga itu sendiri adalah komponen yang sangat vital dalam pendidikan anak-anak. Jika atmosfir peduli dan welas asih absen dari rumah, jika anak-anak diabaikan oleh orang tua mereka, maka dapat dipastikan akan ada dampak yang merugikan. Anak-anak cenderung merasa tak berdaya dan tidak aman, dan pikirannya sering tersiksa. Sebaliknya, apabila anak-anak menerima kasih sayang yang tetap dan perlindungan, mereka cenderung untuk menjadi kian bahagia dan lebih percaya diri dalam kemampuannya. Kesehatan fisik mereka juga cenderung kian membaik. Dan, kita merasa bahwa mereka peduli bukan saja pada dirinya sendiri tetapi juga pada sesama. Lingkungan rumah juga penting karena anak-anak akan belajar tingkah-laku yang negatif dari kedua orang tuanya. Kalau, misalnya, si ayah selalu bersitegang dengan para rekannya, atau kalau ayah dan ibu selalu berdebat kusir, maka walaupun pada awalnya si anak mungkin merasa ini tidak menyenangkan, lambat-laun mereka dapat memahami bahwa itu wajar-wajar saja. Pelajaran seperti ini kemudian akan dibawa ke luar rumah dan ke dunia.



Sudah menjadi rahasia umum bahwa apa yang dipelajari anak-anak tentang tingkah-laku etis di sekolah harus dipraktikkan lebih dahulu. Di sini, para guru memiliki tanggung jawab khusus. Melalui tingkah laku mereka sendiri, mereka dapat membuat anak-anak mengingat mereka sepanjang hayat. Jika tingkah laku ini dijadikan prinsip, didisiplinkan, dan dituangkan menjadi belas kasihan maka nilai-nilai mereka akan tertanam di benak si anak. Karena, pelajaran-pelajaran yang diajarkan oleh seorang guru dengan motivasi yang positif (kun long) akan meresap lebih dalam di benak para siswanya. Saya tahu ini dari pengalaman saya sendiri. Sebagai bocah, saya sangat malas. Namun, ketika saya mulai menyadari adanya kasih sayang dan kepedulian dari para pembimbing saya, pelajaran-pelajaran mereka pada umumnya akan meresap lebih dalam daripada jika salah satu dari mereka bersikap kasar atau tidak berperasaan ketika itu.



Sejauh itu menyangkut kekhususan pendidikan, itu adalah bidangnya para ahli. Karena itu, saya ingin membatasi diri pada sejumlah saran. Urutan pertama adalah dalam upaya membangkitkan kesadaran para kawula muda tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar, lebih baik tidak menyajikan masalah-masalah sosial melulu sebagai persoalan etis atau sebagai masalah religius. Penting untuk menekankan bahwa apa yang kita pertaruhkan sama dengan kesinambungan hidup kita. Dengan cara ini, mereka akan dapat melihat bahwa masa depan terletak di tangan mereka sendiri. Kedua, saya yakin benar bahwa dialog dapat dan harus diajarkan di kelas. Menyuguhi para siswa dengan masalah kontroversial dan meminta mereka memperdebatkan adalah cara yang indah untuk memperkenalkan mereka dengan konsep memecahkan konflik tanpa kekerasan. Memang, orang akan berharap bahwa jika sekolah-sekolah menjadikan hal ini prioritas utama maka ia. akan memiliki dampak yang bermanfaat bagi keluarga itu sendiri. Saat melihat orang tuanya bertengkar, seorang anak yang telah memahami nilai sebuah dialog secara naluriah akan berkata, "Oh, bukan. Bukan begitu caranya. Kalian harus bicara, memperbincangkan sesuatu dengan layak."



Akhirnya, penting pula bagi kita untuk menghapus semua kecenderungan yang mengajarkan sesama dalam cahaya yang negatif, dari kurikulum sekolah. Tak diragukan lagi, dalam sejumlah bagian dunia pengajaran sejarah, misalnya, justru memelihara sikap munafik dan rasisme terhadap masyarakat lain. Tentu saja ini keliru. la tak menyumbangkan apa pun bagi kebahagiaan manusia. Sekarang terlebih lagi kita perlu memperlihatkan kepada anak-anak kita bahwa perbedaan antara "negeri kita" dan "negeri Anda", "agama saya" dan "agama Anda", hanyalah pertimbangan kedua. Sebaliknya, kita harus mendesakkan pengamatan bahwa hak saya bagi kebahagiaan sama kadarnya dengan hak sesama. Bukannya saya berkeyakinan bahwa kita harus mendidik anak-anak agar meninggalkan atau mengabaikan kultur dan tradisi sejarah mereka. Sebaliknya, yang penting adalah menanamkan hal ini ke dalam benak mereka. Baik bagi anak-anak untuk mencintai negaranya, agama mereka, kultur mereka, dan seterusnya. Namun bahaya akan datang jika hal ini berkembang menjadi nasionalisme yang kerdil, etnosentrisitas, dan kemunafikan religius. Contoh Mahatma Gandhi amat penting di sini. Walaupun dia mengenyam pendidikan Barat yang tinggi, dia tidak pernah melupakan atau menjadi terasing dari kekayaan warisan kultur India miliknya….

Gerak Mundur

Sungguh tak bermaksud menghina bangsa sendiri.

Tapi, apalah jadinya suatu bangsa yang kehilangan daya refleksivitasnya? Sudah pasti, bangsa itu akan kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbaharui dirinya sendiri.



Oleh Yudi Latif



Tanpa kapasitas pembelajaran, suatu bangsa bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diikuti perkembangan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya.

Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti bangsa yang maju. Padahal, secara substantif, tak ubahnya bak Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase "kanak-kanak' (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi.

Dalam strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.

Kian hari, penduduk kota-kota metropolitan di Indonesia kian terperangkap dalam jejaring kellihan. Bersama eskalasi pertumbuhan supermal yang dibangun di sembarang tempat, rongga-rongga "agora" (ruang publik) sebagai arena belajar kolektif, pertukaran pikiran, dan kreativitas budaya kian menyempit.



Ruang publik, yang diidamkan oleh Habermas, sebagai arena perbincangan rasional, bebas dan sederajat tanpa terhambat oleh ketidaksetaraan dalam kuasa uang, kian terpinggirkan oleh penetrasi kapital. Tanpa ruang publik yang sehat, kota-kota besar di Indonesia tak bisa tumbuh sebagai polis-polis berperadaban tinggi seperti Venice atau Paris. Tetapi, ia berhenti sebagai 'hutan' beton yang menjadi situs yang nyaman bagi perkembangbiakan apa yang disebut Al-Farabi sebagai "kota Jahiliyah" (almudun al-jahiliyyah).

Cucu abad pencerahan

Ini gerak mundur dalam perkembangan peradaban kita. Kota-kota besar (modern) seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, semula tumbuh sebagai cucu kandung dari spirit pencerahan di Eropa. Bersama konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda pada abad ke-19, ruang publik dan institusi sosial gaya "pencerahan' mulai disemai di Nusantara. Sekolah dasar ala Eropa, mulai didirikan di Weltevreden (Menteng), Jakarta pada 1817. Pada tahun yang sama Kebun Raya di Buitenzorg (Bogor) dan institut-institut yang terkait dengannya didirikan. Seiring dengan itu, klub-klub social (societeit) tumbuh di beberapa kota: Harmonie dan Concordia di Jakarta, De Vereeniging di Yogyakarta, serta beberapa yang lainnya di Surabaya dan Bandung. Kelahiran dari institusi-institusi ini bersamaan dengan munculnya media cetak, jurnal-jurnal ilmiah Belanda (baik yang diterbitkan di Hindia maupun yang diimpor dari Eropa), dan juga perpustakaan serta rumah penerbitan dari klub-klub sosial tersebut.



Bentuk-bentuk sosiabilitas baru ini, beserta infrastruktur pengetahuan dan ruang publik yang menyertainya, memungkinkan kota-kota merkantil di Nusantara terekspos pada lalu lintas informasi, pengetahuan, dan budaya global yang memberi dasar bagi pertumbuhan kota-kota kosmopolitan berperadaban tinggi.

Pencapaian kekayaan
tanpa meritokrasi,
melahirkan budaya korup,
kedangkalan apresiasi
budaya dan
anti-intelektualisme.



Kenanglah mutu pendidikan yang dihasilkan. Untuk tingkat sekolah dasar saja (seperti ELS), murid telah diberi beberapa bahasa asing. Untuk sekolah menengah (semacam HBS), kurikulumnya sangat ketat, tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat kegagalan yang tinggi bahkan untuk orang-orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu setinggi itu, putra Indonesia seperti Agus Salim mampu tampil sebagai lulusan terbaik dari seluruh HBS yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana pembelajaran yang baik, manusia Indonesia pun bisa berprestasi.



Kenanglah kualitas dan kuantitas penelitiannya. Dr Eijkman, pemenang Hadiah Nobel bidang sains pada 1929, melakukan penelitiannya di Indonesia, malah pernah memimpin Laboratorium Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini. Jangan lupa, para pemilik perkebunan berperan aktif dalam mempromosikan pusat-pusat penelitian. Sebagai contoh, Observatorium Bosscha di Bandung (didirikan oleh seorang pemilik perkebunan teh), Institut Penelitian Karet di Bogor (oleh asosiasi perkebunan karet)



Hingga akhir 1930-an, setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian bereputasi tinggi. Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak ilmuwan terbaik Eropa dan Amerika Serikat yang hijrah ke Indonesia, dan menemukan apa yang mereka sebut sebagai the scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal-jumal ilmu pengetahuan yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero dunia, terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan ketika Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.


'Respublica Litterarial'

Kenang pula inisiatif pemerintah untuk mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pustaka dengan proyek penerjemahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun agenda tersembunyi di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan-bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia.



Selain itu, BP juga berfungsi sebagai medan permagangan bagi para literati 'Bumiputera' un tuk meniru tradisi kesusastraan Barat. Proses peniruan ini membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal 'Respublica litteraria'.

Alhasil, seiring dengan pertumbuhan kaum borjuis di perkotaan, tumbuh pula kantong-kantong kreativitas ilmu dan budaya. "Kelas tinggi" menjadi penyangga dari "budaya tinggi". Tak mengherankan jika kualitas peradaban kita menjadi ukuran kemajuan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.



Bandingkanlah dengan Malaysia. Hingga awal abad ke-20, kota-kota pantai di negeri ini lebih banyak dihuni oleh orang Eropa, China dan pendatang lainnya. Karena infrastruktur pengetahuan terbaik didirikan di kota-kota, bangsa Melayu jauh terbelakang dalam segi pendidikannya. Kelak, kehendak untuk memajukan bangsa Melayu mendorong pemerintahnya, untuk mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Indonesia yang lebih maju dan lebih diterima karena kedekatan kulturalnya.



Tetapi, perkembangan kota-kota besar di Indonesia saat ini sungguh melenceng dari bangun arsitektur awalnya. Ledakan orang-orang kaya baru (kelas tinggi) di perkotaan tak diikuti oleh pertumbuhan "budaya tinggi". Pencapaian kekayaan tanpa meritokrasi melahirkan budaya korup, kedangkalan apresiasi budaya dan anti-intelektualisme.



Rapuhnya infrasruktur kognitif masyarakat membawa konsekuensi melemahnya kapasitas diskursus kritis pada tingkat political society, bahkan di lingkungan civil society. Jika gerak mundur ini terus dibiarkan, trayek sejarah Indonesia akan terus bergerak secara tak waras: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik.

Pendidikan dan Budaya Tak Terpisahkan

BANDUNG, (PR).-
Pendidikan merupakan proses membudayakan manusia sehingga pendidikan dan budaya tidak dapat dipisahkan. Demikian dikatakan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Sunaryo, pada sarasehan dan diskusi panel bertajuk "Strategi Pembangunan Jawa Barat Berbasis Budaya dan Pendidikan Berkualitas untuk Pengentasan Kemiskinan" di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Jalan Dr. Radjiman No.6 Bandung, Rabu (11/1).
Menurut Sunaryo, gerakan budaya yang harus dikembangkan, antara lain, jangan termakan budaya global, membudayakan belajar, dan membudayakan baca-tulis. "Yang tidak kalah penting adalah keteladanan dan budaya lisan (dialog)," ujarnya.



Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Barat, Ir. Setia Hidayat. Jawa Barat, katanya, diakui kaya akan budaya luhur, tetapi jarang digali oleh masyarakat Jawa Barat sendiri. "Tidak match kalau orang Jawa Barat pakai basis budaya orang lain," tandasnya. Selama ini, pendidikan yang diterapkan di Indonesia masih memakai metode asing tanpa peduli dengan budaya lokal. Menurut Setia Hidayat, ini yang membuat bangsa Indonesia secara spiritual tidak kuat.
"Seharusnya, dengan metode yang berbasis budaya kita sendiri, seperti silih asih, asah dan asuh, Jawa Barat dapat meningkatkan IPM," tuturnya. Sekda berpendapat, banyak orang yang tidak lagi mengenal budaya sendiri karena takut dianggap primordialisme. Sehingga, lanjutnya, budaya lokal sering dilecehkan.



Sekda mengatakan, budaya lokal seharusnya digali untuk menyaring budaya asing. Hal tersebut dibenarkan oleh Tjetje Hidayat Patmadinata. Menurut Tjetje, "Seni dan sastra Sunda wajib diajarkan kepada siswa." Lemahnya nilai budaya lokal membuat masyarakat Indonesia menjadi orang lain. Padahal, suatu bangsa dapat maju jika masyarakatnya menjunjung tinggi budaya lokal. Penyelesaian masalah pendidikan di Indonesia, kata Tjetje, adalah dengan kembali ke jati diri sendiri. "Setidaknya, pendidikan mengandung unsur logika, etika dan estetika. Sayangnya, anak didik kita lebih banyak menyerap logika, sedangkan etika dan estetika terabaikan," katanya.



Rendahnya mutu pendidikan juga diakuinya sebagai akibat sikap bangsa yang masih 'menomorsekiankan' pendidikan. "Jadi beginilah kualitas masyarakat kita," tuturnya. Selain itu, budaya banyak diskusi, tetapi tanpa follow-up, juga membuat masalah semakin berat.



Sementara, Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan mengatakan, perempuan memegang peranan penting dalam proses pendidikan. "Mendidik satu pria sama dengan mendidik satu manusia, tapi mendidik satu perempuan sama dengan mendirikan sekolah," ujarnya.



Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Dr. Dadang Dally mengatakan, lambannya pemerataan pendidikan di Jawa Barat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya, dan geografisnya. Ekonomi yang masih lemah membuat anak-anak usia sekolah tidak sempat mengenyam pendidikan. Upaya menyadarkan masyarakat bahwa pendidikan merupakan hal penting juga masih belum berhasil. "Sekolah juga belum merata di seluruh kecamatan, jadi masyarakat di pedesaan harus ke kota kalau mau sekolah," kata Dadang. (A-155)***



http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/13/0701.htm

Doktor Kucing

FENOMENA "doktor kucing" telah merebak hampir di segenap pelosok dunia. Majalah Reader's Digest edisi Amerika Serikat, Mei 2005, mengangkatnya sebagai berita utama. Dikisahkan tentang tawaran gelar Doktor (HQ PhD MSc MBA dan semacamnya. bagi siapa saja yang berminat hanya dengan mengisi formulir dan membayar ongkos administrasi beberapa ratus dolar.



Seorang yang sekadar iseng mengisi formulir dengan nama kucing piaraannya dan mengirimnya beserta selembar cek 200 dolar. Ternyata berhasil, ijazah doktor buat si kucing diperolehnya dalam waktu singkat. Dari kisah inilah muncul istilah "doktor kucing".



Di Indonesia, kejadian serupa telah cukup lama berlangsung. Pejabat tinggi pemerintah, pengusaha besar, direktur konsultan, tokoh masyarakat, wakil rakyat, jenderal, ketua yayasan, pimpinan pondok pesantren, rektor perguruan tinggi, hampir semuanya dapat tawaran untuk memperoleh gelar. Jenis gelarnya boleh memilih sendiri, mulai dari BSc, BBA, MA, MPA, MPL, MHA, MBA, MSc, DBA, PhD, Dr (HQ bahkan sampai profesor. Saya sendiri tidak paham gelar seperti MBL dan MHA itu dalam bidang kei1muan apa.



Yang jelas, gelar-gelar dari lembaga yang menamakan dirinya sebagai Global University, World University, atau International University itu diterima dengan gegap gempita oleh berbagai kalangan yang membutuhkan pengakuan sebagai akademisi, pemikir, ilmuwan, pakar atau cendekiawan. Kita bisa menengarai, tokoh-tokoh pemimpin di puncak pemerintahan, ulama tersohor, dai kondang, penyanyi terkenal, pengusaha sukses, bupati atau wakil bupati yang memperoleh gelar profesor, doktor, master atau bachelor itu sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan tampak sekali mereka amat bangga dengan gelar barunya. Apalagi yang mewisuda mereka adalah, antara lain, dua orang doktor dari mancanegara, yang memberi sambutan dalam bahasa Inggris dengan amat meyakinkan.



Acara penganugerahan gelar yang disebut dengan International Graduation pun memang mirip sekali dengan acara wisuda resmi yang berlangsung di perguruan tinggi resmi. Ada sambutan oleh senat guru besar, orasi ilmiah oleh salah seorang penerima gelar, pembacaan surat ke putusan, prosesi pelantikan, dan diakhiri dengan doa. Para penerima aneka gelar itu sungguh bangga. Katanya, mereka dinilai tidak secara akademik, tapi berdasarkan karier dan profesi mereka selama ini. Mereka tidak merasa rugi membayar belasan atau puluhan juta untuk biaya penyelenggaraan yang dinyatakan oleh panitia sebagai "acara resepsi seremonial akbar". Harap dicermati, yang saya tulis di antara tanda kutip itu persis seperti apa yang tercantum dalam surat panitia yang saya dapat.

Selain menerima ijazah lengkap dengan transkrip akademik yang mewah, setiap penerima gelar memperoleh satu buklet alumni "Inauguration: Professor Doctor, Master, Bachelor" dan satu buku berjudul Jalan Pintas Meraih Gelar karangan seorang anggota senat guru besar yang mencantumkan gelar Prof, PhD, Minst, MSc di depan dan di belakang namanya.



Dalam kata pengantar buku yang memperkenalkan gagasan "Non-Traditional Study" itu dijelaskan bahwa penggunaan kata "jalan pintas" mengandung konotasi yang positif dalam arti mencari alternatif dari yang bersifat tradisional atau turun-menurun atau adat, dengan bentuk, sifat, dan metode yang lain atau nontradisional dengan tujuan dan sasaran yang sama. Agar dapat memperoleh gelar dengan cara "nontradisional" terdapat petunjuk dengan mengisi daftar isian konsultasi untuk dikirim ke penulis buku itu.



Saya ambil contoh dua butir isian. Pertama: " Gelar apa yang menjadi minat Anda? Pilih satu atau dua dari empat pilihan ini: Associate, Bachelor, Master, Doctor." Kedua, "Berapa lama (paling lama) Anda siap meluangkan waktu untuk memperoleh gelar? Atau berapa lama waktu yang anda inginkan sampai memperoleh gelar? 1-2 bulan, 2-6 bulan, 6-12 bulan, lebih dari 18 bulan." Gila betul.



Kiranya sudah saatnva Menteri Pendidikan Nasional beserta Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bertindak tegas. Jangan sampai fenomena doktor kucing terus merebak, karena menurut laporan sudah ada kurang lebih 15 ribu alumni di Indonesia yang memperoleh gelar melalui jalan pintas semacam ini. Bahkan ada beberapa penerima gelar dari negara jiran kita, Malaysia. Salah satunya di bulan Juni 2005, seorang CEO dari perusahaan perparkiran yang mengambil gelar PhD. Bayangkan bila sampai tersebar luas di Malaysia bahwa PhD di Indonesia bisa ditempuh hanya dalam waktu satu-dua bulan.



Yang sudah telanjur, apa boleh buat, karena mereka (para penerima gelar) mungkin tidak tahu seluk-beluk proses pendidikan di perguruan tinggi. Tapi dengan adanya Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, tidak ada lagi alasan untuk memberi toleransi atas penyimpangan dan pelanggaran yang telah terjadi selama ini. Kecuali kita ingin pemegang doktor asli yang dengan susah payah menempuh studi normal selama minimum tiga tahun disamakan dengan orang yang bergelar doktor kucing.



*) Rektor Universitas Diponegoro, Semarang

Dari Buta Huruf Samapi "Cilukba"

aat sosialisasi program pemberantasan buta aksara (17/12/2005) di Solo, Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bahwa persentase penyandang buta aksara di
Indonesia sekitar 14,8 juta orang.



Oleh AGUS M. IRKHAM



Jika pernyataan Mendiknas -- sementara versi LIPI, 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia -- bisa kita pegang, berarti pemerintah telah sukses mengentaskan penduduk buta huruf sekitar 10 persen (jumlah buta aksara di Indonesia tahun 1996 sekitar 16 persen). Dengan kata lain, jumlah penduduk yang telah melek huruf hingga akhir tahun 2004 sebesar 93,3 persen. Sunguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang, hanya sekitar 69 persen.



Baik. Katakanlah kita percaya dengan data yang diberikan Mendiknas: ada lebih dari 200 juta penduduk Indonesia yang melek huruf. Akan tetapi, mengapa persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen? Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 :1,74), serta India (1: 38,14).



Jumlah buiku baru yang diterbitkan pun hanya 0,0009 persen dari total penduduk. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal rata-rata negara berkembang 55 per satu juta penduduk. Negara maju memiliki 513 judul buku per satu juta penduduk (Daniel Dhakidae, 1997;187). Rupa-rupanya melek huruf yang tinggi tidak selalu diikuti dengan bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya sebagai ukuran sahih melek budaya.



Buta huruf-budaya

Satu-satunya spasi interpretasi atas kontradiksi data tersebut adalah: besarnya angka buta huruf secara budaya. Bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Salah satu sebab bisa karena bahan bacaan yang langka, susah mengakses bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan.



Secara personal, untuk mengetahui apakah secara budaya kita tergolong sudah melek huruf atau sebaliknya adalah dengan cara menanyakan: apakah secara rutin menulis surat pribadi (surat pembaca ke media, surat untuk teman, keluarga, dan kerabat dekat, atau menulis di buku harian)?



Lalu, apakah setiap bulannya menganggarkan sekian persen dari gaji untuk membeli buku? Apakah sudah menjadikan baca-tulis sebagai kebutuhan hidup sehari-hari, dengan membaca dan menuliskan hal-hal yang tidak hanya terbatas pada pekerjaan? Apakah kebutuhan untuk mendengar dan berbicara tidak selalu lebih besar daripada kebutuhan untuk membaca dan menulis? Jika jawaban atas serangkaian pertanyaan tersebut adalah "tidak!", maka sejatinya kita masih tergolong buta huruf secara budaya.

Akibat yang paling tampak dari buta huruf secara budaya adalah bertumbuhnya masyarakat cilukba. Istilah ini merujuk pada permainan atau simulasi ekspresi yang begitu cepat (tutup-buka muka). Pertumbuhan masyarakat semacam ini kian cepat, seiring kehadiran "guru” paling berpengaruh di abad ini: televisi! Televisi sebagai sisa-sisa ledakan besar (big bang) elektronik, terhitung telah sukses mengajari penontonnya beradab cilukba.



Dunia tanpa koherensi

Televisi menyajikan peristiwa "ini" sekarang, lantas peristiwa "itu” kemudian, meloncat ke hadapan kita sekejap, lalu menghilang lagi. Menurut Neil Postman, guru besar ilmu komunikasi dari Universitas New York, inilah yang disebut dunia di mana tidak ada koherensi maupun penjelasan yang masuk akal. Sepenuhnya berdiri sendiri. Seperti halnya cilukba, permainan untuk bersenang, televisi juga berbicara dalam satu bahasa: kesenangan (hiburan).



Pagi menyajikan berita aksi teror bom bunuh diri, yang membuat tegang, panas-dingin penonton. Malam tetap membuat penonton tegang, panas-dingin, karena sajian (musik) dangdut! Siang melarutkan penonton dalam kesedihan dengan liputan bencana tsunami di Aceh. Malam memicu adrenalin penonton dengan siaran langsung F1 (Formula Satu).



Di dalam televisi, simulasi cilukba tersebut terus berlangsung. Bahkan, kecepatannya melampaui kecepatan empati penontonnya. Akibatnya buat mereka, dangdut, F1, bencana tsunami, aksi teror bom, bermakna sama. yaitu hiburan.



Mereka mengadopsi pola cilukba televisi ke dalam keseharian-masyarakat tontonan. Budaya, komentar (lisan) jadi dominan.



Apa pun dikomentari, dari soal gosip perselingkuhan artis hingga soal rencana kenaikan gaji pegawai negeri. Gemar ngomel, tentang segala macam persoalan : mulai dari terorisme, korupsi, BBM, sinetron misteri, kuis SMS. Semua sebagai ajang katarsis (hiburan). Sekadar tahu (fakta). Tanpa bermaksud mengetahui lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik persoalan tersebut (realita).

Mengajar Siswa Yang Beragam Dengan Aneka Cara

Dunia pendidikan sesungguhnya dipenuhi berbagai kebhinekaan. Sebab, tidak ada siswa yang punya daya tangkap, daya serap, daya pikir dan daya kecerdasan yang sama antara satu siswa dengan siswa lainnya dalam sebuah kelas atau sekolah. Untuk itu, cara mendidik pun sesungguhnya berbeda-beda tergantung tingkat kecerdasan masing-masing siswa. Namun yang terjadi selama ini adalah keseragaman tata cara pendidikan di setiap sekolah, seakan-akan semua siswa punya karakteristik yang seragam. Padahal, karakteristik setiap siswa itu amat berbeda, sehingga cara mengajarnya pun menjadi beragam. Bagaimana sebenarnya pendidikan yang berbhineka itu?
============


Dr. I Made Candiasa, M.I.Komp., dekan FPTK IKIP Negeri Singaraja, dalam sebuah orasi untuk perkenalan menjadi guru besar di kampusnya awal pekan ini mengungkapkan karakteristik siswa dalam sebuah kelas atau sekolah itu sangat beragam. Sehingga saat melakukan proses belajar-mengajar, setiap siswa sebaiknya menerima perlakuan individu dengan pendekatan yang berbeda-beda antara satu siswa dengan siswa lainnya.


Untuk itu, Candiasa yang lahir di Banjar Penasan, Klungkung 30 Juni 1960 ini menawarkan model pembelajaran yang khas dalam keberbhinekaan pendidikan. Model ini mencoba mengakomodasi perbedaan karakteristik peserta didik, agar mampu beradaptasi dengan kondisi peserta didik yang beragam.


Dosen yang juga ahli di bidang matematika ini memaparkan peserta didik memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan harus diakomodasi dalam pembelajaran, agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Psikologi dengan berbagai cabangnya telah mengidentifikasi sangat banyak variabel yang mengindikasikan perbedaan individu dan mempengaruhi proses belajar, seperti kecerdasan, keberbakatan, gaya kognitif, gaya berpikir, daya adopsi, ketahan-malangan, dan kemampuan awal.
Soal kecerdasan sudah sejak lama menjadi bahan pertimbangan dalam pembelajaran. Menurut Candiasa, teori faktor tunggal dari Binet-Simon mendeskripsikan kecerdasan dalam satu skor umum tunggal (overall single score) yang disebut intelligence quotient (IQ), sedangkan Spearman dengan teori dua faktor mendeskripsikan kecerdasan menjadi dua faktor kemampuan yang berdiri sendiri, yaitu faktor umum (general) dan faktor khusus (specific).


''Sekalipun teori faktor tunggal dan teori dua faktor memungkinkan penyeragaman proses pembelajaran, namun akan lebih baik jika individu dengan IQ yang berbeda mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda,'' kata Candiasa.
Bahkan, lanjut Candiasa, pemberagaman pembelajaran akibat perbedaan kecerdasan menguat setelah Thurstone mendeskripsikan kecerdasan dan keberbakatan (aptitude) menjadi beberapa faktor kemampuan yang dikenal dengan faktor ganda (multiple factors), yaitu kemampuan verbal (verbal comprehension), kemampuan berhitung (number), kemampuan geometris (spatial relation), kelancaran kata (word fluency), ingatan (memory), dan penalaran (reasoning).


Selanjutnya, tuntutan keberagaman pembelajaran lebih tampak lagi pada teori kecerdasan ganda (multiple intelligence) dari Gardner. Teori kecerdasan ganda menyatakan bahwa kecerdasan dan keberbakatan manusia terdiri atas tujuh komponen yang semiotonom, yaitu kecerdasan musik (musical intelligence), kecerdasasan bodi-kinestetik (bodily-kinesthetic intelligence), kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence), kecerdasan ruang (spatial intelligence), kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), dan kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence). Nah, agar diperoleh hasil belajar yang optimal, kecerdasan yang berbeda harus mendapatkan layanan pembelajaran yang berbeda pula.



Selain kecerdasan, menurut Candiasa, gaya kognitif juga cukup kuat pengaruhnya terhadap proses pembelajaran. Sebagaimana disebutkan oleh Witkin yang membedakan individu berdasarkan gaya kognitifnya menjadi individu field independent dan individu field dependent.



Individu field independent cenderung berpikir analisis, mereorganisasi materi pembelajaran menurut kepentingan sendiri, merumuskan sendiri tujuan pembelajaran secara internal dan lebih mengutamakan motivasi internal. Di lain pihak, individu field dependent cenderung berpikir global, mengikuti struktur materi pembelajaran apa adanya, mengikuti tujuan pembelajaran yang ada dan lebih mengutamakan motivasi eksternal.



Gejala psikologis lain yang dapat membedakan individu dalam proses belajarnya adalah gaya berpikir. Gaya berpikir erat kaitannya dengan fungsi belahan otak. Candiasa mengutip Koestler dan Clark yang menyebut bahwa belahan otak kanan lebih bersifat lateral dan divergen, sedangkan belahan otak kiri lebih bersifat vertikal dan konvergen.



Masing-masing belahan otak bertanggung jawab terhadap cara berpikir, dan masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi tertentu. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier, dan rasional, sedangkan proses berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, divergen, dan holistik.
Daya adopsi individu juga berbeda dan juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Rogers, menurut Candiasa, membedakan individu berdasarkan daya adopsinya menjadi empat kelompok, yaitu adopter, mayoritas awal (early majority), mayoritas akhir (late majority), dan pembelot (laggard). Individu yang masuk kelompok adopter selalu mempelopori penerimaan inovasi.
Kelompok mayoritas awal memerima inovasi apabila sudah sekitar 30 persen individu lainnya menerima. Kelompok individu mayoritas akhir bersedia menerima inovasi setelah 60 persen individu lainnya. Kelompok individu pembelot adalah kelompok individu yang paling sukar menerima inovasi. Setelah itu, berawal dari kegagalan individu cerdas dan berbakat dalam usahanya, ditemukan variabel ketahan-malangan (adversity) yang dapat mempengaruhi aktivitas individu, termasuk belajar.


Ketahan-malangan adalah daya tahan individu untuk menghadapi tantangan. Di sini Candiasa mengutip Stoltz yang membedakan individu berdasarkan ketahan-malangan yang dimiliki menjadi tiga kelompok, yaitu penjelajah (climber), penunggu (camper), dan penyerah (quitter). Individu penjelajah selalu ingin maju seberapa pun hambatan yang dialami. Individu penunggu, untuk berbuat sesuatu selalu menunggu keberhasilan individu lainnya. Individu penyerah adalah individu yang tidak berusaha untuk maju dan cenderung menyerah sebelum berusaha.



Kemampuan awal peserta juga harus mendapat pertimbangan dalam proses pembelajaran. Kemampuan awal sangat dipengaruhi oleh pengalaman individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh karena itu, perbedaan lingkungan dapat mengakibatkan perbedaan kemampuan awal. Perbedaan kemampuan awal mengakibatkan perbedaan kemampuan untuk mengelaborasi informasi baru untuk membangun struktur kognitif.



Dengan melihat perbedaan-perbedaan itu rupanya dalam belajar juga dituntut individualisasi agar diperoleh hasil belajar yang optimal. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengakomodasi perbedaan karakteristik individu dalam pembelajaran. Permasalahan berikutnya adalah komponen-komponen pembelajaran yang mana saja dapat diadaptasikan dengan karakteristik individu yang amat beragam. (ole)

http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2006/2/3/pen1hl.HTM

Bermain Artifisial Dan Bermain Natural

Bermain sambil belajar merupakan jargon abadi dalam pendidikan usia dini. Setiap lembaga pendidikan pra-sekolah kemudian memfasilitasi kegiatan ini melalui alat-alat bermain dan waktu khusus untuk bermain. Dalam prakteknya, konsep bermain sambil belajar masih sulit untuk berjalan beriringan. Saat seorang anak masuk sekolah kita tidak akan merelakan mereka masuk sekolah hanya untuk bermain tanpa capaian tertentu yang terkonsentrasi pada aspek kognitif. Bermain seringkali dipandang sebagai kegiatan selingan dan cenderung dianggap membuang waktu. Sebagai orang dewasa yang telah melampaui masa kanak-kanak kita tetap belum bisa melihat esensi bermain yang sebenarnya dan kontribusi positif dalam proses perkembangan anak.



Tokoh pendidikan Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852) mendefinisikan; Play is what we do when we do whatever we want to do. Secara garis besar dapat disimpulkan yang disebut bermain adalah bila tidak mengikuti pola rutinitas tertentu dan tidak untuk memenuhi tuntutan orang dewasa. Faktanya saat ini kegiatan bermain kemudian disematkan dalam aktivitas pembelajaran, misalnya, mendisain permainan yang bertujuan agar anak dapat mengenal huruf atau angka, dsb. Pada dasarnya kita tidak pernah rela membiarkan anak bermain secara natural. Menjadi pertanyaan mengapa bermain secara natural menjadi demikian penting pada fase ini?



Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini beberapa fungsi alat bermain dan permainan bagi anak;

* Sebagai alat penenang (pacifier)
* Alat bantu untuk mengenal minat dan potensi anak
* Membantu anak dalam melampiaskan perasaannya (catharcist)
* Sarana ekspresi diri (identification)
* Mengembangkan daya imajinasi
* Menstimulasi aspek kemampuan dasar
* Kesempatan untuk bereksperimen dan eksplorasi
* Cara untuk mengenal dunia diluar dirinya
* Membangun kemampuan sosial
* Sarana menata diri

Kalau berbicara mengenai sesuatu yang natural pasti ada yang tidak natural / artificial. Apa yang membedakan kedua hal tersebut?
Bermain secara natural, esensinya adalah bermain yang sesuai dengan natur anak dan harus mampu menjadi sarana mengekspresikan diri. Seorang anak harus diberi kesempatan dalam mengekspresikan diri secara tuntas dan total dalam bermain agar ia kemudian cukup siap untuk belajar dan menerima segala sesuatu yang datang dari luar dirinya. Pada saat bermain anak akan mengeluarkan dan membersihkan segala sesuatu yang membebani diri (psikis) nya. Rasanya aneh bukan membayangkan anak semuda ini telah menyimpan beban dalam dirinya? Ya, karena perpindahan dari alam sebelumnya ke alam dunia membutuhkan proses adaptasi pada diri anak yang tingkat penyesuaiannya berbeda satu sama lain. Mereka perlu dibantu untuk mengingat kembali proses perjalanan di alam sebelumnya yang berlanjut ke alam dunia ini, sehingga mereka tidak kehilangan orientasi dalam kehidupannya kelak. Bila tak terpenuhi, kelak sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah memberontak.



Constraint dari lingkungan sosial juga menuntut anak menyiapkan diri untuk mengikuti budaya sekitarnya. Membutuhkan waktu bagi anak yang pada awalnya berpikir secara universal dan menyatu kemudan menjadi secular/terkotakkan. Tapi begitulah natur dunia yang perlu dipahami dan dikenali perannya dalam proses pengenalan diri. Bukankah semesta adalah citra Tuhan yang paling nyata?
Kembali pada pengertian bermain secara natural tentu bukan dikategorikan natural lagi bila bermain direkayasa apalagi diselipkan target tertentu. Bermain secara natural juga berarti bermain dialam terbuka dengan sentuhan alam yang masih murni dan bukannya dalam ruang ber-ac dipenuhi mesin-mesin otomatis. Bermain secara natural adalah ketika seluruh ke-indra-an mereka distimulasi dengan segala sesuatu yang riil dan bernyawa. Saat telinga anak mendengar musik, bawa dan perdengarkan suara musik yang asli bukannya melalui CD/tape-recorder, saat sensori taktilnya menyentuh sesuatu, sentuhlah segala bahan yang alami bukan bahan sintetis. saat ia hendak menggambar gunung bawa ia kedaerah pegunungan dan bukannya sekedar meng-copy gambar gunung dari papan tulis atau buku. Biarkan imajinasinya menuntun ia dalam bermain, jangan lepaskan mereka dari dunia kanak-kanaknya tanpa alat bermain. Pada saatnya mereka akan sampai pada suatu fase dimana mereka memperoleh kesadaran tertentu tentang kehidupannya yang nyata. Pengertian alat bermain disini adalah segala sesuatu benda/material yang ada disekitarnya, baik berupa balok yang memang kita siapkan atau dengan menggunakan kardus bekas, misalnya.



Tugas para pendidik disini adalah untuk mengamati respon anak saat mengalami hal-hal baru dalam bermain, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Guru harus cermat menggali data dan mengenali potensi diri anak sebagai langkah awal mengenal dirinya.



Bila anak diibaratkan benih, orangtua dan guru harus menjadi petani yang bertugas menumbuh-kembangkan pohon dirinya. Tentunya ada siklus yang harus dipahami, ada pola yang harus diikuti dan karakteristik yang perlu dikenali dalam proses tersebut. Perlu diingat bahwa setiap diri telah memiliki blue-print masing-masing. Bukan kita yang menentukan ia akan menjadi pohon apa, melainkan bagaimana agar si pohon dapat tumbuh.



Kita sangat menyadari spektrum anak sangat luas, sangat spesifik dan unik. Sangat membutuhkan pendekatan individual pada masing-masing anak. Apapun metoda yang kita berikan harus berpegang pada 3 hal;

* Tanpa paksaan /drill; hal ini membuat potensi art menjadi hancur dan bisa mengakibatkan stress yang dapat menyebabkan saraf halus anak yang sedang tumbuh menjadi terputus,
* Pemetaan rumah dan sekolah; pendidikan harus menjadi sesuatu hal yang berkelanjutan. Data awal sang anak sejak masih dirahim ibu, kebiasaan yang dilakukan dirumah, aturan dari rumah harus menjadi materi pembelajaran yang berkesinambungan dengan program sekolah,
* Rumah belajar; sekolah harus mampu menyediakan kelas/ruang yang sesuai dengan preferences anak, sekolah harus menjadi tempat bagi anak untuk mengeluarkan dan mengasah potensi dirinya, menjadi rumah (yang dikategorikan dengan kenyamanan) untuk belajar,

Aspek terpenting dalam tujuan pendidikan insan adalah apabila pendidikan tersebut berhasil membangun kesadaran seseorang untuk merenungi diri dan mengenali peran dirinya dalam kehidupan. Adalah tidak mudah membuat seseorang menyadari fungsi dirinya bila lingkungan disekitarnya tidak mendukung pencapaian tersebut. Bila seorang pendidik tidak memiliki visi mengenali diri tidak akan mungkin mampu melahirkan anak didik yang memiliki kesadaran demikian tinggi. Setiap pendidik hendaknya mampu menghantar anak untuk bahagia dalam kehidupannya, dan kebahagiaan sejati baru dapat terwujud bila seseorang dapat menjalankan kodrat sesuai dengan untuk apa ia dicipta. Selamat berjuang...

Taman Kanak-Kanak Tanpa Mainan

Di suatu pagi, ketika anak-anak memasuki kelas, mereka tidak menemukan apa-apa di semua ruangan, kecuali mebel. Mereka mencari boneka, permainan, atau binatang-binatangan, tetapi sia-sia. Tidak ada buku maupun kubus-kubus mainan. Bahkan kertas dan guntingpun hilang. Semua mainan telah disingkirkan dan tidak akan dikembalikan selama tiga bulan. Apa yang telah terjadi?



Ini adalah jenis taman kanak-kanak yang semakin populer di Austria, Jerman, dan Swiss yang bergabung dalam sebuah proyek yang mengagumkan dan inovatif yang disebut Taman Kanak-Kanak Tanpa Mainan. Sekalipun kedengarannya mungkin aneh, proyek ini, yang telah sangat dipujikan oleh para ahli kesehatan Uni Eropa, bertujuan untuk mencegah ketagihan. Pada tahun-tahun belakangan ini, para peneliti telah memahami bahwa orang tidak mudah ketagihan apapun jika mereka memperkembangkan keterampilan bersosial sedini mungkin. Hal ini mencakup, menurut laporan sebuah surat kabar, "keterampilan berkomunikasi dan kesanggupan untuk memulai percakapan, mengatasi ketidaksepakatan, bertanggung jawab atas tindakan, membuat rencana, memahami masalah, mencari bantuan, dan menemukan jalan keluar." Menurut para pendukung program ini, keterampilan-keterampilan demikian harus dikembangkan sedini mungkin, dan masa tanpa mainan memenuhi tujuan ini, merangsang kreativitas dan kepercayaan diri.



Masa tiga bulan tanpa mainan ini telah direncanakan dan didiskusikan secara cermat dengan para orang tua maupun anak-anak. Mula-mula, beberapa anak merasa kebingungan tanpa mainan. "Ada anak-anak di beberapa taman kanak-kanak yang menjadi tidak terkendali selama empat minggu pertama", dan para perencana kehabisan akal untuk mengatasi situasi ini, kata laporan itu. Tetapi, anak-anak belajar menyesuaikan diri dan belajar menjadi kreatif. Karena tidak ada mainan, anak-anak lebih banyak bercakap-cakap, berencana, dan bermain bersama, dengan demikian meningkatkan keterampilan bersosial dan berbahasa. Beberapa anak yang tadinya suka "bersembunyi" di balik mainan mereka kini memiliki teman-teman. Para orang tua juga memperhatikan perubahan yang positif. Sewaktu bermain, anak-anak berperilaku lebih baik dan menjadi lebih kreatif daripada sebelumnya, menurut mereka.

Pendidikan Visi Kerakyatan

Adakah pendidikan yang bersifat netral ? Sepertinya kita sangat kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini. Secara konseptual, apapun paradigma pendidikan itu tetap saja berpijak dan berpihak kepada suatu aliran filsafat-nya. Paradigma Pendidikan Konservatif, misalnya, lebih dekat dengan aliran Filsafat Skolastik yang cenderung determinis (jabbariah : fatalistik). Paradigma ini sangat fatalistik sebab hanya memahami suatu kondisi sosial sebagai "suratan takdir". Apa yang telah terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Di sini pula kita mendapatkan suatu kesalahan berpikir yang disebut dengan fallacy of retrospective determinism. Kesalahan berpikir yang hanya memahami suatu keadaan sosial sebagai kenyataan yang sudah seharusnya terjadi. Atau ketika kondisi seperti ini dipahami melalui paradigma pemikiran Paulo Freire lebih tepat disebut dengan "kesadaran magis" (magic conscious).



Untuk Paradigma Pendidikan Liberal juga tidak bisa lepas dari dasar filosofis-nya yakni yang disebut dengan Positivisme. Akar permasalahan yang melatarbelakangi konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang mengedepankan aspek pengembangan potensi, perlindungan hak-hak dan kebebasan (freedom). Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma pendidikan liberal.

Sementara paradigma positivistik (empirisme) memiliki karakter khusus seperti empiris (indrawi), universalisme dan generalisasi melalui kumpulan-kumpulan teori (Schoyer, 1973). Akan tetapi Mazhab Positivisme telah terbantahkan melalui gagasan-gagasan dari Jurgen Habermas, seorang tokoh utama "Mazhab Frankfurt" (Frankfurt School). Kritik Habermas terhadap positivisme meliputi pertama; instrumental knowledge yang bertujuan untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi serta eksploitasi terhadap obyek. Kedua; hermeneutic knowledge yang bertujuan hanya untuk memahami saja. Dan ketiga; critical knowledge atau emansipatory knowledge yang menempatkan pengetahuan sebagai katalis untuk membebaskan manusia (Bottomore, 1984).



Pendidikan Kritis (Radikal) juga tidak lepas dari keberpihakan. Paradigma pendidikan ini menghendaki adanya perubahan sosial (social change) yang berkeadilan. Jadi tidak ada unsur yang dominan dan menindas dalam struktur sosial yang nantinya akan menyudutkan salah satu dari unsur sosial di dalamnya.



Karena paradigma pendidikan tidak mungkin bersifat netral sama sekali, maka kemanakah pendidikan itu seharusnya berkiblat? Inilah sebenarnya persoalan yang paling signifikan dalam kaitannya dengan visi pendidikan. Hendak diarahkan ke mana keberpihakan pendidikan itu ?.



Jika Prof. Proopert Lodge memiliki pandangan "live is education and education is live" (kehidupan itu adalah proses pendidikan dan proses pendidikan itu adalah kehidupan), sebenarnya antara pendidikan dengan proses kehidupan tidak ada bedanya. Adapun yang dimaksud dengan proses kehidupan adalah hubungan manusia dengan manusia lain yang melahirkan konsekuensi-konsekuensi, kondisi serta struktur (tatanan) sosial yang akan memposisikan-nya dalam fungsi yang berbeda-beda. Kemudian proses kehidupan itu juga akan melahirkan tipe-tipe manusia yang berbeda-beda pula.



Jika saja kita menganalisa tipe-tipe manusia dengan menggunakan teori konflik, kondisi suatu tatanan sosial dihadapkan pada dua sisi yang saling kontradiksi. Realitas sosial akan menampakkan dua sisi yang saling berhadap-hadapan seperti adanya penguasa tentu di sisi lain ada yang dikuasai, ada kelompok kuat, tentu di sisi lain terdapat pihak yang lemah dan seterusnya. Inilah yang kami maksud dengan dua realitas yang saling kontradiksi itu.



Kondisi yang tidak berimbang sebab dominasi peran suatu kelompok dalam masyarakat kemudian melahirkan penindasan, tekanan-tekanan dan mungkin juga kekerasan fisik. Akibatnya struktur sosial yang ada hanya mewakili dari "sistem tuan dan budak". Kelompok lemah akan semakin tertindas dan hidup dalam keterbelakangan. Potensi-potensi manusiawi telah dinafikan akibat struktur yang membentuk antagonisme itu.



Bagi Paulo Freire, kondisi seperti itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Setiap penindasan apapun bentuknya tetap dinilai tidak manusiawi (dehumanisasi). Oleh karena itu proses pendidikan harus memuat agenda untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Masyarakat yang tertindas itu nantinya hanya akan semakin tengelam dalam "kebudayaan bisu" (sub merged in the culture silence), yaitu suatu kondisi yang senantiasa dalam ketakutan dan ketidakberdayaan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo, 2001). "Bahasa diam" kemudian menjadi semakin sakral dan harus selalu dihormati.

Ketimpangan sosial akibat dominasi peran (fungsi) dari sekelompok orang yang merasakan kenyamanan di atas penderitaan orang lain bukanlah kondisi yang harus dibiarkan begitu saja. Freire menggarisbawahi bahwa pendidikan harus bertujuan untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut atau tertekan akibat otoritas kekuasaan. Ia juga berpendapat bahwa pendidikan untuk membebaskan kaum tertindas harus didasarkan atas semangat optimisme, sikap kritis dan resistent. Optimisme berarti merubah pola pikir masyarakat dari kesadaran magis (magic consciousness) yang sangat determinis itu. Sikap ini merupakan langkah awal untuk mengubah sistem yang ada karena pada dasarnya setiap manusia itu memiliki "kehendak" (will) dan "kebebasan" (freedom) untuk menentukan nasibnya sendiri. Karena itulah, seseorang harusnya optimis dalam menghadapi proses kehidupan ini. Semuanya penuh dengan "keserbamungkinan".



Sementara sebagai manusia yang normal pasti ia akan memilih kehidupannya yang terbaik.
Sikap kritis adalah langkah berikutnya bahwa seseorang harus mampu melihat secara analitis persoalan-persoalan realitas dan dirinya serta mampu memetakan persoalan sambil memahami unsur-unsur yang mempengaruhi (dominan) suatu kondisi sosial. "Kesadaran Kritis" (critical consciousness) merupakan faktor utama bagi seorang manusia untuk bisa membaca situasi sosial sekaligus dirinya. Penyadaran (konsientisasi) dengan puncaknya yakni "Kesadaran Transformative" (transformative consiousness) adalah tujuan dari pendidikan. Demikianlah maksud dari konsep pendidikan Paulo Freire (lihat William A. Smith, 2002).

Jelaslah sudah bahwa pendidikan yang tidak bisa netral itu harus berkiblat pada suatu visi. Dan visi tersebut telah kita temukan melalui konsep pendidikan kritis yang telah digagas oleh Paulo Freire. Pendidikan harus berbasis pada kerakyatan. Struktur sosial yang dilihat dengan kaca mata konflik harus dimulai dari lapisan paling bawah atau yang sering disebut sebagai masyarakat marginal. Visi kerakyatan ini merupakan arahan agar pendidikan kita mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang bersinggungan dengan otoritas suatu kekuasaan.



***

Pendidikan nasional untuk saat ini sepertinya semakin jauh dari visi kerakyatan. Bahkan dengan gerakan otonomi sekolah-sekolah tinggi semakin jelas menunjukkan gejala kapitalisme pendidikan. Saat ini pendidikan dikelola dengan menggunakan manajemen bisnis yang kemudian menghasilkan biaya yang melangit. Biaya pendidikan makin mahal, bahkan terkesan telah menjadi komoditas bisnis bagi kaum pemilik modal (kapitalis). Dengan menggunakan label sekolah unggulan, sekolah favorit, sekolah panutan dan sebagainya biaya pendidikan semakin mencekik "wong cilik". Pendidikan kita semakin menindas terhadap kaum marginal. Di manakah letak keadilan pendidikan kita jika sekolah yang bermutu itu hanya untuk mereka yang punya uang saja ?.

Dengan biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau oleh masyarakat marginal, kita semakin berhadapan dengan persoalan penindasan gaya baru. Penindasan yang terselubung yang secara tidak langsung menciptakan jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Inilah yang kami maksud dengan penindasan gaya baru itu. Rakyat lemah tidak lagi mampu mengenyam pendidikan bermutu akibat mahal-nya biaya pendidikan itu.



Para praktisi pendidikan kita sepertinya kurang mampu memahami kaum marginal yang serba kesulitan. Mereka lebih disibukkan dengan perdebatan-perdebatan teoritis tentang kebijakan tanpa memahami secara langsung kondisi masyarakat marginal itu. Kita tentunya masih ingat dengan kasus Haryanto, seorang murid Sekolah Dasar Muara Sanding VI Garut yang putus asa lalu bunuh diri dengan menggantung diri akibat tidak mampu membayar biaya kegiatan ekstrakurikuler. Orang tuanya tidak mampu memberikan biaya kegiatan yang hanya sebesar dua ribu lima ratus rupiah. Ia kemudian putus asa lalu menggantung diri. Inilah salah satu dari sekian potret kaum marginal yang serba dalam kesulitan. Untuk membiayai kegiatan sekolah sebesar dua ribu lima ratus rupiah saja terasa berat sekali, apalagi biaya pendidikan dengan jumlah ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.

Sudah saatnya para pakar pendidikan nasional memahami persoalan yang kerap kali terlupakan ini.


www.sekolahindonesia.com

Renungan Budaya Untuk Generasi Mendatang

KEBUDAYAAN sebuah bangsa tidak pernah statis. Ia senantiasa dinamis dan beradaptasi secara dialektis dan kreatif dengan dinamika masyarakat. Adakalanya ia memengaruhi, juga sebaliknya, dipengaruhi masyarakatnya. Kebudayaan mengalir dalam gerak saling-pengaruh yang tanpa akhir dalam denyut nadi kehidupan. Terkadang arusnya kecil, terkadang besar, bahkan ia bisa menjadi gelombang besar yang memengaruhi kesadaran dan laku kita. Kalau kini orang berbicara tentang krisis masyarakat yang mendalam, bukankah ia juga berbicara tentang krisis budaya, krisis nilai, krisis kehidupan itu sendiri....



Lantas, 60 tahun setelah kita merdeka adakah capai-capaian budaya membanggakan yang kita raih? Ataukah malah krisis budaya benar-benar telah mengempaskan kita ke keterpurukan ekonomi dan ke ketertinggalan kematangan sosial politik yang amat memilukan?

Selama ini budaya atau kebudayaan terlalu sering dibicarakan dalam tema-tema besar yang serbaabstrak. Seperti dalam pidato-pidato kebudayaan yang menuntut refleksi yang dalam dan kecerdasan nalar-logika yang rumit. Tentu saja ruang-ruang perenungan budaya seperti ini penting.

Tapi, sesungguhnya untuk saat ini yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana kita memandang budaya dengan sederhana. Budaya kita lihat saja dalam kecenderungan sikap, laku, tindak, dan tutur kata kita sehari-hari yang amat kasat mata. Katakanlah, mengikuti istilah pemikir budaya mutakhir, sebagai budaya kehidupan sehari-hari (culture of everyday life).

Pemikiran kritis

Hingga kini begitu banyak pemikiran kritis yang lahir dari perenungan yang dalam dan tulus untuk berbicara tentang budaya dan masyarakat Indonesia. Pandangan itu sering sangat kritis terhadap budaya dominan, sehingga tak jarang cukup mencerahkan. Sayang, setelah pemikiran itu dilontarkan, lantas disambut dan diperdebatkan dengan hangat, kemudian dilupakan begitu saja, seakan lenyap ditelan arus sejarah.



Sebutlah beberapa saja. Tahun 70-an Mochtar Lubis misalnya sudah berbicara sangat keras tentang wajah tak keruan manusia Indonesia. Dengan wajah muram manusia Indonesia yang ciri-ciri pribadinya berkeping-keping (munafik, feodal, percaya tahayul, punya watak yang lemah, dan cenderung boros), Mochtar Lubis khawatir bangsa kita akan tertinggal jauh, dan lebih celaka lagi akan jadi korban dalam percaturan dunia.

Tak heran kalau Koentjaraningrat mengingatkan tentang perlunya perubahan mentalitas masyarakat Indonesia agar bisa menjadi bangsa yang maju. Dan, Umar Kayam tak bosan berbicara tentang pentingnya transformasi budaya kita untuk menyingkirkan budaya feodal dan birokratis dalam laku elite politik (pegawai negeri dan politisi) dan masyarakat umum.



Sementara itu, Taufik Abdullah memperkenalkan sebuah rumusan yang bagus menyangkut kemiskinan budaya wacana elite politik, yang disebutnya "spiral kebodohan yang menukik ke bawah". Kebodohan yang dibalas dengan kebodohan akan melahirkan kebodohan baru. Bukankah pernyataan bodoh seorang elite politik yang ditanggapi dengan pernyataan bodoh pula oleh elite politik yang lain, begitu sering kita saksikan di media. Pernyataan itu hanya melahirkan kebodohan baru. Akhirnya menciptakan semacam spiral kebodohan yang terus menukik ke bawah.



Lebih dalam lagi Soedjatmoko mengingatkan tentang ancaman kemanusiaan, berupa kemiskinan, ledakan penduduk, degradasi lingkungan global yang dampaknya akan dirasakan bangsa Indonesia di abad ke-21. Ia juga menyebut munculnya fenomena "masyarakat stres", "masyarakat sakit", yang ditandai oleh sakit mental, kekerasan, dan penyalahgunaan obat dan kenakalan remaja. Maka tak heran kalau Soetardji Calzoum Bachri mengajak bangsa kita dengan lantang: "Wahai bangsaku/ Keluarlah engkau dari kamus kehancuran ini/ Cari kata/ Temukan ucapan/ Sebagaimana dulu para pemuda menemukan kata dalam sumpah mereka." Senada dengan Sartono Kartodirdjo yang mengumandangkan tentang pentingnya kesadaran sejarah dalam proses pendidikan bangsa. Dan, Kuntowijoyo mengajukan pentingnya transendensi dan humanisasi untuk melawan politisisasi, sekularisasi, dan komersialisasi budaya.


Persoalan krusial dan skenario ke depan

Apa yang menjadi imbauan atau bahkan kekhawatiran para pemikir budaya tersebut tak lain adalah implikasi dari adanya arus besar yang memengaruhi kehidupan dan membentuk budaya masyarakat mutakhir. Di satu sisi, ia bersumber dari dalam, berupa feodalisme dan di sisi lain, ia datang dari luar, dari konsekuensi-konsekuensi globalisasi dan transnasionalisasi nilai-nilai yang datang dari seluruh sudut dunia via media massa. Atau, baik itu dari gejala sekularisme yang merembesi segenap ranah-ranah religiusitas manusia modern, sehingga dianggap sebagai ancaman bagi nilai-nilai-agama tradisional maupun dari nilai kapitalisme masyarakat konsumen yang menyebabkan berlangsungnya proses komodifikasi semua ranah kehidupan.



Nilai-nilai ini dipandang ikut membentuk selera, laku, dan bahkan kesadaran kita. Kini nilai-nilai ini terus meresap, menjadi semacam kekuatan budaya yang membentuk bawah-sadar kehidupan manusia modern. Mulai dari cara kita memilih letak rumah, jenis kendaraan, merek busana, tempat hiburan, acara TV, figur anutan, penggunaan uang yang kita peroleh, pemanfaatan waktu luang, hingga cara kita bercinta dan menjalani serta memandang kehidupan sehari-hari. Semuanya tak lain dari adanya konstruksi nilai dan budaya yang membentuk kesadaran kita.



Di tengah kepungan nilai-nilai itu, bangsa kita justru berhadapan dengan masalah besar dan krusial yang menghadang. Persoalan kemiskinan, penyakit (biologis, psikologis, dan sosial), kebodohan, kekerasan, ketidakpedulian (I don't care!), pencemaran lingkungan, masih menjadi persoalan keseharian yang kasat mata yang masih memerlukan tidak hanya pemikiran budaya, tapi juga laku budaya sehar-hari yang lebih mampu membebaskan dan memberdayakan kita dari berbagai krisis sosial, ekonomi, politik yang mengimpit. Laku dan kesadaran budaya yang beberapa di antaranya akan disorot di bawah ini perlu segera dikembangkan untuk melawan kecenderungan laku budaya dominan yang seakan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari.

Kita sebut saja budaya itu sebagai "10 Sikap dan Kesadaran Budaya Negatif" yang harus disingkirkan dengan membangun "10 Sikap dan Kesadaran Budaya Positif" yang menjadi budaya alternatif yang harus terus dipupuk di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di tempat ibadah, di jalan-jalan, dan di semua ruang kehidupan sehari-hari.



Pertama, budaya feodal lawan budaya egaliter.

Budaya feodalisme yang menghambat kemajuan harus dilawan dengan sikap dan kesadaran budaya egaliter. Sikap egaliter menempatkan manusia pada posisi setara, tanpa memandang status yang diperoleh karena keturunan, kekayaan, jabatan, pendidikan, suku, ras, atau agama. Sikap hidup yang memandang semua orang sama akan menjadi budaya pendukung nilai-nilai demokrasi dan semangat masyarakat madani. Kita harus mengembangkan pendidikan budaya sejak dini kepada anak-anak agar tumbuh sikap budaya egaliter yang menghargai sesama manusia.



Kedua, budaya instan lawan budaya kerja keras.

Budaya instan yang mengganggap bahwa bahagia, kekayaan, sukses, dan prestasi bisa diraih seperti membalik telapak tangan, juga harus dilawan dengan budaya yang memandang bahwa semua itu harus diraih dengan keringat dan air mata. Budaya-budaya yang menggampangkan penyelesaian persoalan dengan cara potong kompas dalam kehidupan sehari-hari mesti dilawan dengan cara-cara yang lebih beradab. Prestasi yang diraih dengan kerja keras harus diberi penghargaan secara layak dan harus diciptakan mekanisme penilaian untuk orang-orang yang meraih prestasi dengan kerja keras. Kita harus menanamkan pendidikan budaya yang memberi pengertian kepada anak-anak agar korupsi, perilaku tidak jujur, komersialisasi jabatan, sampai jual beli gelar aspal, plagiat, atau mencontek adalah contoh budaya instan yang tidak layak diberi tempat dalam masyarakat. Karena kita hanya menghargai orang yang bekerja keras.



Ketiga, budaya kulit lawan budaya isi.

Budaya kulit atau tampilan luar dalam kehidupan memang penting. Untuk menjaga citra diri atau image seseorang, banyak cara yang bisa ditempuh. Ada orang yang memamerkan kekayaan, ada yang menunjukkan kepintaran, ada juga yang unjuk kekuatan dan kekuasaan. Show kemewahan sudah menjadi bagian dari gaya hidup kaum aristokrat sejak dulu. Sekarang banyak orang kaya baru (OKB) yang tidak malu-malu menunjukkan dirinya kaya dan saleh. Untuk itu, orang menggunakan simbol-simbol kesuksesan dan kesalehan dengan berbagai cara. Persoalan muncul kalau orang biasa memakai topeng kulit seperti itu. Pasalnya iklan dan sinetron tak hentinya mengajarkan bahwa budaya kulit lebih hebat dari budaya isi.

Kita ingin menanamkan kepada anak-anak sejak dini bahwa budaya isi, substansi jauh lebih penting dari budaya kulit. Bukan kita iri atau cemburu dengan orang sukses dan kaya. Bukan! Kita ingin agar kekayaan dan kesuksesan mereka lebih bermakna bagi kehidupan banyak orang. Kita merindukan kesejahteraan yang lebih merata. Kita ingin mengetuk kesadaran orang yang gandrung budaya kulit agar mulai menyelami budaya isi, untuk menyelami hakikat kehidupan itu sendiri.



Keempat, budaya penampilan lawan budaya hidup sederhana.

Budaya penampilan, asal kelihatan keren, kece, dan hebat, juga menjadi bagian dari kehidupan kita. Tak banyak orang sekarang yang mau dan berani tampil lebih sederhana dari penghasilannya. Bahkan tak jarang orang sudah menghabiskan penghasilannya sebelum penghasilan itu menjadi haknya. Kita menyebut budaya kredit dan budaya utang kini sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita bahkan sudah menjadi darah daging dan daya hidup pemerintah kita (ingat utang luar negeri!).

Kita akan sulit atau mungkin terasing di tengah-tengah tetangga, keluarga atau kolega kalau kita berpenampilan sederhana. Kebersahajaan --sebagai pilihan sikap dan gaya hidup alternatif-- menjadi barang langka atau bahkan semacam kemewahan tak terjangkau di tengah hutan lebat gemerlap gaya hidup. Di kantor, pakaian Anda yang dinilai tidak modis dan stylist akan dikomentari, "Masak dari dulu hanya pakai yang itu-itu." Kamu tidak akan kelihatan sukses dan membanggakan keluarga kalau kamu tidak mengenderai kendaraan terkini. Kamu akan lebih keren kalau kamu memakai HP keluaran mutakhir, model anu dengan penampilan gress. Ongkos penampilanmu akan terus menyedot sakumu.

Setiap hari anak-anak kita dikhotbahi oleh pesan-pesan iklan dan sinetron padat gaya hidup agar mereka memuja budaya penampilan. Di masa depan kita ingin agar anak-anak kita menjadi lebih sederhana dari kita, sekalipun kita tetap berusaha agar mereka jauh lebih sukses dan bahagia dari kita.



Kelima, budaya boros lawan budaya hemat.

Budaya kulit atau budaya penampilan jelas telah menjadikan budaya boros begitu telanjang di pelupuk mata. Kita jarang berpikir jangan-jangan perilaku dan gaya hidup serbaboros sudah mendarah daging dalam kehidupan kita. Cobalah simak di kantor, di jalan, atau di rumah kita. Bagaimana kita menggunakan listrik, air, atau pulsa telefon (khususnya HP). Kalau dulu orang tua memberi anak uang bisa ditabung atau dibelikan emas. Sekarang begitu banyak orang tua yang menganggarkan uang pulsa bulanan buat si buah hatinya. Di zaman teknologi komunikasi serbacanggih, budaya ngerumpi dan omongan remeh-temeh bisa menghamburkan uang ratusan ribu bahkan jutaan perbulan.

Mulai sekarang kita harus menanamkan kesadaran di kalangan anak muda bahwa budaya hemat adalah bagian dari perilaku hidup sehat dan beradab yang harus dikembangkan. Kepada generasi muda, misalnya, perlu kita sebarkan ungkapan, "Save water and electricity!" atau "Hemat air dan listrik demi generasi mendatang!". Bila perlu harus kita pasang di pintu-pintu rumah kita. Kita harus berpikir bahwa masih banyak orang yang belum memperoleh penerangan yang layak dan air bersih yang wajar sebagaimana yang kita nikmati. Masih banyak bencana kekeringan dan kelaparan yang menyebabkan nestapa kemanusiaan. Kita ingin budaya hidup hemat menjadi pesan kemanusiaan yang bermakna bagi generasi mendatang. Seruan lirih Mahatma Gandhi terdengar pas, "Earth provides enough for everyone's need, but not for everyman's greed."



Keenam, budaya apati lawan budaya empati.

Dengan kesadaran demikian pula kita ingin membuat sikap masa bodoh atau apati yang membuat kita menutup mata terhadap persoalan di sekitar kita segera diganti oleh tumbuhnya generasi yang berkesadaran empatik. Budaya empatik menumbuhkan kepedulian dan kesadaran untuk mendengar terhadap keluhan orang lain atau penderitaan sesama. Generasi empatik adalah generasi yang bisa hidup dalam semangat untuk memberi kepada yang tidak mampu dan menyuarakan persoalan publik serta membebaskan yang tertindas. Kita ingin menumbuhkan budaya empati justru di tengah-tengah sikap masa bodoh atau ketidakpedulian yang sering mewarnai budaya kita sehari-hari.



Ketujuh, budaya konsumtif lawan budaya produktif.

Budaya yang hanya bisa memakai, menghabiskan waktu dan uang yang tak bermanfaat, harus dilawan dengan budaya yang lebih memberikan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan. Kalau sekarang kita hanya menjadi masyarakat pemakai (pemakai barang produk luar negeri, konsumen pemikiran, dan gaya hidup asing), di masa depan konstruksi budaya yang paling berat dan krusial adalah bagaimana membuat bangsa ini menjadi bangsa yang menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kemanusiaan. Tantangan pendidikan kita adalah bagaimana menjadikan generasi konsumtif berubah menjadi generasi produktif. Generasi yang tidak hanya menjadi pengguna atau konsumen, tapi menjadi produsen bagi bangsanya bahkan bagi luar negeri. Ini tidak boleh tidak memerlukan semacam revolusi kesadaran yang menuntut pendidikan sumber daya manusia yang sistematis dan terprogram.



Kedelapan, budaya bersih lawan budaya sampah.

Sampah akan menjadi persoalan urban yang pelik kalau kita tidak mencari solusi yang lebih terpadu dalam pembangunan dan penataan kota di masa depan. Kita sekarang hidup dalam "masyarakat serba membuang"; beli, pakai sekali, setelah itu buang. Untuk itu kita harus menanamkan budaya bersih sejak dini dalam lingkungan keluarga, tetangga, masyarakat luas, terutama di pasar dan pertokoan, perkantoran, terminal, stasiun, pelabuhan dan lapangan terbang, jalan-jalan dan fasilitas umum harus memperhatikan masalah penanganan sampah secara serius. Budaya membuang sampah sembarangan harus mendapatkan ganjaran yang keras kalau perlu jerat hukum. Dan, kebiasaan membuang sampah pada tempat yang disediakan secara khusus sudah harus ditanamkan sejak dini hingga di masa kanak-kanak, di ruang keluarga Indonesia. Ingatlah sampah akan menjadi ancaman serius karena bukankah setiap orang menghasilkan sampah?



Kesembilan, budaya antre lawan budaya terabas.

Kebiasaan antre juga harus dikampanyekan dan dimasyarakatkan di tempat-tempat milik publik. Kita harus menjadi bangsa yang beradab, jangan asal terabas. Budaya terabas menyebabkan munculnya korupsi dan membuat kita tidak sabaran di jalan. Budaya antre menghargai keteraturan yang tidak dipaksakan, tapi tumbuh dari kesadaran penghargaan terhadap orang lain. Kita hanya mendahulukan orang tua, orang sakit, atau orang hamil. Kita harus mempraktikkan kepada anak-anak sejak dini tentang pentingnya budaya antre dalam masyarakat sibuk seperti sekarang ini.



Kesepuluh, budaya kompetisi lawan budaya kerja sama.

Kita perlu berkompetisi, asal kompetisi itu sehat dan fair, karena kita ingin yang terbaiklah yang muncul sebagai pemimpin atau pemenang. Kita harus menanamkan budaya menerima kekalahan secara fair dan menghargai prestasi orang lain agar kehidupan berjalan sehat. Ini baik dalam pendidikan, juga dalam demokrasi. Kalau kita sulit membangun budaya kompetisi, kita harus mulai berpikir bagaimana membangun budaya kerja sama. Kita sudah lama larut dalam klik-klik kepentingan picik golongan, bahkan kita sudah jauh masuk dalam keretakan kehidupan kebangsaan, dan melemahnya kohesivitas sosial. Kita ingin budaya kerja sama hidup kembali di kalangan anak-anak muda dan generasi yang akan datang. Bukankah persoalan kemanusiaan dan kebangsaan yang pelik hanya bisa dipecahkan bersama. Kita hanya bisa menghilangkan sikap individualis, egoistik, dan merasa benar sendiri, bila kita terbiasa bekerja sama, karena kita akan semakin rendah hati menerima berbagai kemungkinan dari orang lain yang berbeda dari kita.



Akhirnya, kita harus membuat skenario budaya ini agar bisa berjalan dari hal-hal kecil kehidupan kita sehari-hari. Kita ingin generasi di masa datang berubah wajah dari generasi yang serba dipolitisasi dan dikomersialkan menjadi generasi yang lebih beradab, civilized generation. Karena itu kita harus merancang desain budaya dan kesadaran masyarakat kita dari politicized and commercialized society menjadi civilized society. Saya yakin kalau kita mulai menjalankan salah satu saja dari "10 Sikap dan Kesadaran Budaya Positif" tersebut, kita mulai ikut meretas jalan untuk membangun masyarakat lebih beradab. Jalan memang masih panjang dan berliku. Tapi, bukankah seperti senandung dari lirik lagu Lionel Richie, "We can save the world if we try...."***



Penulis, Konsultan komunikasi dan peneliti media serta kebudayaan pop.



http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1205/17/khazanah/lainnya01.htm