Jumat, 11 Desember 2009

Bermain Artifisial Dan Bermain Natural

Bermain sambil belajar merupakan jargon abadi dalam pendidikan usia dini. Setiap lembaga pendidikan pra-sekolah kemudian memfasilitasi kegiatan ini melalui alat-alat bermain dan waktu khusus untuk bermain. Dalam prakteknya, konsep bermain sambil belajar masih sulit untuk berjalan beriringan. Saat seorang anak masuk sekolah kita tidak akan merelakan mereka masuk sekolah hanya untuk bermain tanpa capaian tertentu yang terkonsentrasi pada aspek kognitif. Bermain seringkali dipandang sebagai kegiatan selingan dan cenderung dianggap membuang waktu. Sebagai orang dewasa yang telah melampaui masa kanak-kanak kita tetap belum bisa melihat esensi bermain yang sebenarnya dan kontribusi positif dalam proses perkembangan anak.



Tokoh pendidikan Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852) mendefinisikan; Play is what we do when we do whatever we want to do. Secara garis besar dapat disimpulkan yang disebut bermain adalah bila tidak mengikuti pola rutinitas tertentu dan tidak untuk memenuhi tuntutan orang dewasa. Faktanya saat ini kegiatan bermain kemudian disematkan dalam aktivitas pembelajaran, misalnya, mendisain permainan yang bertujuan agar anak dapat mengenal huruf atau angka, dsb. Pada dasarnya kita tidak pernah rela membiarkan anak bermain secara natural. Menjadi pertanyaan mengapa bermain secara natural menjadi demikian penting pada fase ini?



Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, berikut ini beberapa fungsi alat bermain dan permainan bagi anak;

* Sebagai alat penenang (pacifier)
* Alat bantu untuk mengenal minat dan potensi anak
* Membantu anak dalam melampiaskan perasaannya (catharcist)
* Sarana ekspresi diri (identification)
* Mengembangkan daya imajinasi
* Menstimulasi aspek kemampuan dasar
* Kesempatan untuk bereksperimen dan eksplorasi
* Cara untuk mengenal dunia diluar dirinya
* Membangun kemampuan sosial
* Sarana menata diri

Kalau berbicara mengenai sesuatu yang natural pasti ada yang tidak natural / artificial. Apa yang membedakan kedua hal tersebut?
Bermain secara natural, esensinya adalah bermain yang sesuai dengan natur anak dan harus mampu menjadi sarana mengekspresikan diri. Seorang anak harus diberi kesempatan dalam mengekspresikan diri secara tuntas dan total dalam bermain agar ia kemudian cukup siap untuk belajar dan menerima segala sesuatu yang datang dari luar dirinya. Pada saat bermain anak akan mengeluarkan dan membersihkan segala sesuatu yang membebani diri (psikis) nya. Rasanya aneh bukan membayangkan anak semuda ini telah menyimpan beban dalam dirinya? Ya, karena perpindahan dari alam sebelumnya ke alam dunia membutuhkan proses adaptasi pada diri anak yang tingkat penyesuaiannya berbeda satu sama lain. Mereka perlu dibantu untuk mengingat kembali proses perjalanan di alam sebelumnya yang berlanjut ke alam dunia ini, sehingga mereka tidak kehilangan orientasi dalam kehidupannya kelak. Bila tak terpenuhi, kelak sang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah memberontak.



Constraint dari lingkungan sosial juga menuntut anak menyiapkan diri untuk mengikuti budaya sekitarnya. Membutuhkan waktu bagi anak yang pada awalnya berpikir secara universal dan menyatu kemudan menjadi secular/terkotakkan. Tapi begitulah natur dunia yang perlu dipahami dan dikenali perannya dalam proses pengenalan diri. Bukankah semesta adalah citra Tuhan yang paling nyata?
Kembali pada pengertian bermain secara natural tentu bukan dikategorikan natural lagi bila bermain direkayasa apalagi diselipkan target tertentu. Bermain secara natural juga berarti bermain dialam terbuka dengan sentuhan alam yang masih murni dan bukannya dalam ruang ber-ac dipenuhi mesin-mesin otomatis. Bermain secara natural adalah ketika seluruh ke-indra-an mereka distimulasi dengan segala sesuatu yang riil dan bernyawa. Saat telinga anak mendengar musik, bawa dan perdengarkan suara musik yang asli bukannya melalui CD/tape-recorder, saat sensori taktilnya menyentuh sesuatu, sentuhlah segala bahan yang alami bukan bahan sintetis. saat ia hendak menggambar gunung bawa ia kedaerah pegunungan dan bukannya sekedar meng-copy gambar gunung dari papan tulis atau buku. Biarkan imajinasinya menuntun ia dalam bermain, jangan lepaskan mereka dari dunia kanak-kanaknya tanpa alat bermain. Pada saatnya mereka akan sampai pada suatu fase dimana mereka memperoleh kesadaran tertentu tentang kehidupannya yang nyata. Pengertian alat bermain disini adalah segala sesuatu benda/material yang ada disekitarnya, baik berupa balok yang memang kita siapkan atau dengan menggunakan kardus bekas, misalnya.



Tugas para pendidik disini adalah untuk mengamati respon anak saat mengalami hal-hal baru dalam bermain, dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Guru harus cermat menggali data dan mengenali potensi diri anak sebagai langkah awal mengenal dirinya.



Bila anak diibaratkan benih, orangtua dan guru harus menjadi petani yang bertugas menumbuh-kembangkan pohon dirinya. Tentunya ada siklus yang harus dipahami, ada pola yang harus diikuti dan karakteristik yang perlu dikenali dalam proses tersebut. Perlu diingat bahwa setiap diri telah memiliki blue-print masing-masing. Bukan kita yang menentukan ia akan menjadi pohon apa, melainkan bagaimana agar si pohon dapat tumbuh.



Kita sangat menyadari spektrum anak sangat luas, sangat spesifik dan unik. Sangat membutuhkan pendekatan individual pada masing-masing anak. Apapun metoda yang kita berikan harus berpegang pada 3 hal;

* Tanpa paksaan /drill; hal ini membuat potensi art menjadi hancur dan bisa mengakibatkan stress yang dapat menyebabkan saraf halus anak yang sedang tumbuh menjadi terputus,
* Pemetaan rumah dan sekolah; pendidikan harus menjadi sesuatu hal yang berkelanjutan. Data awal sang anak sejak masih dirahim ibu, kebiasaan yang dilakukan dirumah, aturan dari rumah harus menjadi materi pembelajaran yang berkesinambungan dengan program sekolah,
* Rumah belajar; sekolah harus mampu menyediakan kelas/ruang yang sesuai dengan preferences anak, sekolah harus menjadi tempat bagi anak untuk mengeluarkan dan mengasah potensi dirinya, menjadi rumah (yang dikategorikan dengan kenyamanan) untuk belajar,

Aspek terpenting dalam tujuan pendidikan insan adalah apabila pendidikan tersebut berhasil membangun kesadaran seseorang untuk merenungi diri dan mengenali peran dirinya dalam kehidupan. Adalah tidak mudah membuat seseorang menyadari fungsi dirinya bila lingkungan disekitarnya tidak mendukung pencapaian tersebut. Bila seorang pendidik tidak memiliki visi mengenali diri tidak akan mungkin mampu melahirkan anak didik yang memiliki kesadaran demikian tinggi. Setiap pendidik hendaknya mampu menghantar anak untuk bahagia dalam kehidupannya, dan kebahagiaan sejati baru dapat terwujud bila seseorang dapat menjalankan kodrat sesuai dengan untuk apa ia dicipta. Selamat berjuang...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar