Jumat, 11 Desember 2009

Saat Ribuan Anak "Turun" Membatik

Langit pagi di Solo, Minggu (12/2), tampak cerah. Sejumlah gang kecil di kampung batik Kauman riuh oleh hiruk-pikuk anak-anak yang duduk lesehan di sepanjang jalan.



Mereka duduk berkelompok mengelilingi sebuah wajan kecil yang berisi malam (sejenis lilin) yang meleleh. Di tangan kiri mereka tersangga kain mori berukuran 30 cm x 30 cm yang sudah berbingkai layaknya kanvas, sementara tangan kanan memegang canting- untuk menorehkan malam ke kain.



Tak biasanya jalan selebar tiga meter di antara bangunan tua milik perajin batik ini ramai. Meski atap dari bambu dan rumbia yang dipasang tak mampu menahan panas matahari yang kian menyengat, sekitar 1.200 anak yang turut "berpetualang" dalam proses membatik itu tetap bersemangat.



Di salah satu sudut jalan, seorang bocah laki-laki tampak asyik menorehkan malam. Sesekali ia mengambil malam cair dengan kepala canting, meniupnya, dan dengan saksama mencoba menorehkan malam sesuai pola yang dibuatnya dengan pensil.



Setelah pola selesai dipenuhi malam, bocah bernama Ahmad Halim Al Kosasih ini mengambil lidi yang ujungnya diberi kapas. Siswa kelas V SD Muhammadiyah 2 Solo ini mencelupkan kapas ke zat pewarna kain yang disediakan dalam gelas plastik dan mulai mewamai kain mori dengan ragam warna cerah.



Senyum mengembang di wajahnya saat kain mori miliknya sudah dipenuhi warna-warni hasil karyanya. Sesekali ia memamerkannya kepada teman-temannya yang duduk di sekitarnya. "Senang rasanya, saya jadi tahu cara membuat batik” katanya.



Di kelompok lainnya, tampak seorang perempuan perajin batik tengah membimbing anak-anak perempuan menorehkan malam ke kain mori. Mereka menorehkan ke atas motif bunga, kupu-kupu, burung, dan gambar lain yang mereka buat.



Sementara anak-anak membatik, para pengantar mereka ikut sibuk membantu. Beberapa di antaranya turut menikmati saat mereka membatik. Ya, itulah suasana workshop membatik bagi anak-anak yang terselenggara atas inisiatif sejumlah pengusaha batik Kauman.



Koordinator event organizer Mataya Production Heru Prasetyo yang membantu penyelenggaraan acara mengatakan, kegiatan diharapkan bisa mendekatkan anak-anak maupun orangtua mereka kepada budaya hingga budaya ini bisa bertahan di masa yang akan datang, Rochmad-Chusen (67) pemilik Batik Sekar Melati, mengatakan, selama ini anak-anak terkelabui dengan batik yang mereka kenakan. Padahal, yang mereka kenakan hanyalah busana bermotif batik yang dicetak, bukan batik torehan malam ke mori.



"Ide ini bisa saja dilakukan di sekolah-sekolah. Saya punya angan-angan, anak-anak bisa membuat busana batiknya sendiri dan pada hari tertentu dikenakan ke sekolah. Anak diajar untuk bangga dengan hasil karyanya sendiri, belajar berkreasi, dan tidak menjadi bangsa yang konsumtif," kata Rochmad.



Pembelajaran membatik sejak dini ini mendapat respons positif dari Wali Kota Solo Joko Widodo. lnisiatif pengusaha untuk memberikan pembelajaran membatik merupakan indikator positif bagi kelangsungan tradisi batik tulis.



Tradisi ini bisa dikemas sebagai aset untuk menarik wisatawan. Syukur-syukur pembelajaran batik bisa menjadi muatan lokal sistem pendidikan anak sekolah di Solo. (SON/EKIAVHY)



Kompas, 14 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar